Liputan6.com, Jakarta - Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Internasional setiap tahunnya diperingati pada 16 Juni. Bertepatan dengan momen di 2020, kembali digaungkan urgensi perlindungan bagi para pekerja rumah tangga di Indonesia.
Hal ini beriringan dengan dorongan untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang disuarakan oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) dan beragam organisasi perempuan.
Koordinator Nasional Jala PRT Lita Anggraini menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan tiga klaster, merujuk pada tuntutan pengesahan RUU PPRT, yang meliputi rekrutmen, perlindungan, dan relasi. Perlindungan merupakan suatu pengakuan bagi PRT sebagai pekerja.
Advertisement
Baca Juga
"Ada 4,2 juta (PRT yang bekerja di dalam negeri) artinya dengan ada pengakuan berarti mengurangi angka pengangguran, menghapus diskriminasi, eksploitasi dan perbudakan," kata Lita dalam bincang daring yang digelar Komnas Perempuan dan Kowani, Selasa (16/6/2020).
Pengakuan, dikatakan Lita, adalah suatu akses bagi pekerja rumah tangga bisa mengakses pelatihan. Sedangkan bicara soal perlindungan adalah untuk kedua belah pihak yakni untuk PRT dan pemberi kerja, karena di dalam RUU PPRT diatur hak dan kewajiban kedua belah pihak yang seimbang.
"Hak PRT yang kami usulkan general. Kami menyadari masalah PRT kompleks dan pemberi kerja dari kelas atas--bawah, tidak semua punya kemampuan yang sama. Kami hanya menuntut supaya ada perlindungan upah, upah dibayarkan" lanjutnya.
Lalu yang kedua, adalah menekankan untuk waktu libur bisa disepakati kedua belah pihak. Berlanjut pada pentingnya jaminan sosial. "Yakni jaminan kesehatan karena upahnya rata-rata jauh di bawah UMR mereka diikutsertakan sebagai peserta penerima bantuan iuran," kata Lita.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dari Jaminan Sosial hingga Pengawasan
Ada pula jaminan sosial ketenagakerjaan. Lita menyebut, telah memulai inisiatif jaminan sosial ketenagakerjaan. "PRT ikut dengan pemberi kerja membayar Rp36.800 per bulan, artinya saya pikir dengan membayar termasuk biaya administrasi tidak sulit dan menjadi payung perlindungan untuk semua PRT," jelasnya.
Berikutnya, hak PRT dikaitkan dengan hak untuk beribadah. "Karena banyak PRT yang tidak bisa mengakses waktu beribadah karena jam kerjanya," terang Lita.
Pihaknya juga mengusulkan adanya perjanjian kerja yang dikatakannya tak kalah penting karena menjadi acuan dalam hak dan kewajiban PRT mengerjakan tugas-tugasnya seperti ada perlindungan agar pemberi kerja dapat hasil kerja dan PRT sesuai dengan apa yang disepakati ada prosedurnya.
"Kemudian kedua belah pihak terlindungi dari penyalur. Soal rekrutmen perlu adanya pengaturan penyalur, pendidikan pelatihan yang penting untuk BLK karena selama ini tak ada BLK untuk PRT," jelasnya.
Selain itu, Lita juga menyebut soal pengawasan, bagaimana perlindungan melibatkan aparatus lokal seperti RT, RW, kelurahan.
"Pentingnya penghapusan PRT anak, di sana tercantum batas usia dari PRT adalah 18 tahun," tambah Lita.
Advertisement
Status RUU PPRT
"Secara status, sekarang RUU PPRT ini, Alhamdulillah sudah masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) prioritas tahun 2020 yang sebelumnya mangkrak 16 tahun," kata Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Willy Aditya pada kesempatan yang sama.
Willy menyebut, setiap pimpinan di badan legislasi (baleg) memiliki kuota untuk mengajukan satu undang-undang. "Nah kuota saya, saya gunakan untuk mengusulkan hak inisiatif Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT," tambahnya,
"Sudah beberapa Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bahkan besok sudah saya agendakan sekali lagi RDPU mengundang beberapa teman-teman yang menurut saya cukup penting kita dengarkan," ungkap Willy.
Ia menambahkan, secara politik mengapa RUU ini mandek sebagai hak inisiatif dari Komisi IX karena memang pertarungan politiknya tidak sederhana dan memiliki komplikasi tertentu.
"Negara kita belum menjadi negara yang industrialis maka kemudian secara sosiologis orang sering bertanya 'kan keluarga bukan institusi bisnis dan keluarga bukan institusi hukum', maka kemudian landasan hukum ketika seseorang bekerja di dalam rumah tangga itu apa," lanjutnya.
Dikatakan Willy, dalam basis penyusun RUU memiliki tiga landasan yakni filosofis, sosiologis, dan yuridis.
"Kalau masuk sebagai dalam perspektif landasan filosofis, melihat setiap warga negara memiliki hak yang sama dan harus dilindungi negara menjadi kerangka kenapa undang-undang itu harus disahkan," jelasnya.
Sementara, yang kedua adaah sosiologis, memiliki sebuah dinamika tersendiri. "Di mana saya menkonsolidir tenaga ahli-tenaga ahli baleg dan beberapa teman yang memiliki concern yang sama minta melakukan klaster," ungkapnya.