Liputan6.com, Jakarta - Data Kementerian Koperasi dan UKM 2018 menunjukkan bahwa struktur pengusaha kecil dan menengah di Indonesia masih berbentuk piramida. Jumlah pengusaha mikro mendominasi dengan persentase mencapai 98 persen atau sekitar 63 juta orang. Sementara, jumlah pengusaha kecil hanya 1,22 persen atau sekitar 783 ribu dan 60.702 (0,09 persen)Â yang masuk kategori menengah.
Dengan komposisi demikian, kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia tidak imbang. Maka itu, pemerintah mendorong agar terjadi penggemukan di tengah.
"Kalau kita istilahnya bukan piramida, tapi gentong. Ini ingin kita lakukan agar akses pemodalan, business model-nya berkembang lebih baik," kata Victoria Simanungkalit, Deputi Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan UKM, dalam webinar Gotong Royong Jaga UMKM Indonesia, Selasa, 11 Agustus 2020.
Advertisement
Baca Juga
Faktanya, harapan tak selalu sejalan dengan kenyataan di lapangan. Banyak pengusaha mikro yang stagnan, bahkan gulung tikar dengan berbagai alasan. Terkait hal ini, Victoria berpendapat naik kelas atau tidaknya para pengusaha mikro ditentukan skala usaha.
"Harus tercapai skala ekonomi agar siap jadi grow up. Kalau tidak, habis untuk bayar cicilan dan kebutuhan sehari-hari," ujarnya.
Untuk itu, pemerintah menerapkan pendekatan ekosistem agar bisnis bisa berkelanjutan, dari hulu hingga pemasaran. Kata kuncinya adalah kolaborasi atau gotong royong. Para pengusaha kecil didorong agar saling bekerja sama membentuk kelompok dan menggunakan konsep factory sharing alias berbagi pabrik.
"Produk makanan, misalnya. Di tengah pandemi, ada tuntutan dari konsumen, makanan itu harus sehat, aman, dan sesuai standar. Kalau sendiri-sendiri, bangun dapurnya yang terstandar agak sulit karena mahal. Kalau berkelompok, bisa buat factory sharing sederhana di salah satu rumah, tingkat higienitas tercapai, pemerintah bisa beri sertifikasi," jelas Victoria.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Lewat Koperasi
Victoria menyebut, penerapan berbagi pabrik memberi banyak manfaat bagi pengusaha mikro, terutama dari segi biaya dan daya tawar. Misal, usaha keripik singkong. Harga bahan baku bisa lebih miring karena dibeli curah untuk dimanfaatkan bersama. Di sisi lain, standar produk yang berlaku global lebih mudah dipenuhi dibanding diproduksi sendirian.Â
Tak hanya itu, para pengusaha mikro juga didorong menciptakan mereka bersama dengan kemasan yang dirancang baik. Tanpa merek, produk yang dihasilkan pengusaha mikro tidak bisa bersaing di pasaran. Akhirnya, usaha mereka stagnan.
Tapi, ada alternatif lain dalam pembentukan factory sharing. Pemerintah mendorong koperasi berperan dalam hal ini. Mereka lah yang membuat pabrik dengan memanfaatkan modal dari Layanan Pengelolaan Dana Bergulir yang disediakan pemerintah. Koperasi pula yang nanti akan menyalurkan hasil produksi ke pasar yang tepat.Â
"Dengan begitu, upaya peningkatan daya saing produk dan skala usaha bisa dimungkinkan," katanya.
Dengan bergotong royong di dalam pabrik bersama di bawah naungan koperasi, pengusaha mikro dimungkinkan mendapatkan sertifikat halal. Sejak tahun lalu, label halal sudah diwajibkan untuk produk-produk yang diedarkan di Indonesia. Di sisi lain, sertifikat halal bisa digunakan sebagai pemenuhan kualifikasi mengekspor produk ke sejumlah negara.Â
"Pemerintah juga mendorong UKM kembali bangkit, seperti dengan Bela Pengadaan. Belanja pemerintah akan prioritaskan produk-produk UKM, terutama pengadaan di bawah Rp50 juta. Ini peluang besar, apalagi syaratnya hanya wajib memiliki KTP dan NPWP," jelas Victoria.
Advertisement
Perlu Pendamping
Victoria mengingatkan pengusaha mikro, khususnya kaum perempuan, tak bisa menjalankan bisnis sendiri tanpa pendamping. Mereka berperan meyakinkan memulai usaha dan menjalankan bisnis dengan baik. Untuk itu, ia mengatakan pemerintah tak bisa melakukannya sendiri, perlu kerja sama lintas sektor, termasuk dengan swasta.
Hal itu direspons Unilever Indonesia dan Amartha dengan berkolaborasi dalam program Rahasia Usaha Lebih Cepat Untung yang dimulai sejak Desember 2019 yang sejalan dengan kampanye #UnileveruntukIndonesia. Direktur Home Care PT Unilever Indonesia, Tbk, Veronika Utami menyebut, ada empat hal yang harus dimiliki pebisnis perempuan bisa tahan uji, yakni paham mengenai usaha dan keunikannya; paham pengelolaan keuangan bagi bisnisnya agar memiliki daya juang; punya strategi jangka panjang; dan servis yang baik untuk pelanggan (ketepatan, kecepatan, positif).
Untuk itu, ada empat modul yang disampaikan pada para ibu yang bergabung, yakni pemaparan inspirasi bisnis, literasi keuangan, pemasaran dan distribusi produk, serta urusan kebersihan dan kerapihan yang terpercaya. Poin terakhir jadi catatan khusus mengingat tuntutan konsumen makin tinggi. Sejauh ini, sudah ada 60 ribu pengusaha di 16 kabupaten yang bergabung.
"Higienis di masa pandemi juga penting, tidak cuma jualan pakai masker, tapi jualannya higienis. Dulunya hanya value added, sekarang jadi hal utama," kata Andi Taufan Garuda Putra, founder dan CEO PT Amartha Mikro Fintek.
Perihal literasi keuangan, ia menyebut setiap pengusaha akan menghadapi tantangan permodalan. Namun, bagi pengusaha mikro, masalah utama mereka adalah pendidikan keuangan. Mereka harus bisa jadi peminjam yang berkualitas, bisnisnya meningkat, dan keluarga sejahtera.
"Di sini edukasi literasi keuangan jadi penting karena mereka harus minjem sesuai kemampuan, bagaimana bisa tangguh jalani bisnis," ujar Andi.