Pentingnya Kesetaraan Mengasuh Buah Hati untuk Menekan Fenomena Anak Tanpa Ayah

Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara “tanpa ayah” dengan rata-rata interaksi anak dan ayah sebanyak 65 menit per hari.

oleh Asnida Riani diperbarui 02 Apr 2021, 04:02 WIB
Diterbitkan 02 Apr 2021, 04:02 WIB
keluarga
ilustrasi keluarga/Photo by Emma Bauso from Pexels

Liputan6.com, Jakarta - Walau sudah menunjukkan kemajuan di sana-sini, keluarga Indonesia nyatanya masih dekat dengan peran gender tradisional. Artinya, ibu berperan sebagai penanggung jawab domestik, termasuk hal-hal terkait tumbuh kembang anak, sementara ayah adalah pencari nafkah utama.

Peran gender yang mengakar dan berujung menimbulkan fenomena "anak tanpa ayah" ini kemudian terefleksi dalam berbagai kebijakan di Indonesia. Salah satunya adalah parental leave yang hanya dua hari untuk ayah menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Juga, asuransi yang penerima manfaatnya sering kali tidak bisa diturunkan, kecuali hanya dari pihak ayah. Ada juga kesenjangan gaji yang membuat perempuan lebih sulit jadi pencari nafkah utama, sampai stigma negatif bagi pria yang aktif terlibat dalam urusan rumah tangga.

Berdasarkan keterangan pers pada Liputan6.com, Rabu, 31 Maret 2021, Chief Operating Officer GREDU, Ricky Putra, mengakui bahwa ia sempat sangat sibuk dengan aktivitas di luar rumah. Tapi, ketika pandemi datang dan membuatnya harus bekerja dari rumah, ia belajar bahwa mengasuh anak ternyata tugas yang berat.

Pihanya juga mencatat bahwa Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara “tanpa ayah” dengan rata-rata interaksi anak dan ayah sebanyak 65 menit per hari.

Padahal, Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menjelaskan dalam webinar #HebatdenganTerlibat bertajuk "Tips Jadi Ayah Idaman," akhir pekan lalu, bahwa anak yang tidak mendapat perhatian, serta kasih sayang dari kedua orangtua dapat melakukan hal-hal ekstrem.

Ini juga disepakati psikolog anak dan keluarga, Mira Damayanti Amir. Ia mengaku kerap menemukan anak yang tidak memiliki peran utuh dari ayah dan ibu jadi lebih menarik diri, rentan penyalahgunaan NAPZA, memiliki masalah kejiwaan, dan akademik rendah.

Berkaca pada penemuan tersebut, Yandra Rahadian dan organisasi Ayah ASI Yogyakarta ingin mendorong keterlibatan ayah dalam mengasuh anak melalui kelas dan lokakarya. Menurut Yandra, peran sebagai ayah tidak dimulai ketika anak lahir, tapi sejak istri mengandung.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pentingnya Terlibat

Keluarga Tetap Menjadi Prioritas Utama
Ilustrasi Keluarga. Credit: pexels.com/pixabay

Maka itu, para ayah perlu menyiapkan diri, baik dari sisi fisik maupun emosional, karena teori dan praktik jadi ayah memang berbeda dan akan terus berkembang. "Zaman berbeda, pendekatannya juga harus berbeda," tutur Yandra.

Orangtua perlu memahami bahwa anak bukanlah objek balas dendam. "Banyak sekali orangtua yang menyangkal bahwa dirinyalah yang bermasalah. Akibatnya, mereka tidak kunjung 'sembuh' dan malah mengulang pola pengasuhan salah yang diterima di masa lalu,” jelas Retno.

Ia menambahkan, kasus kesalahan pola asuh yang melibatkan kekerasan fisik dan verbal pada anak masih menempati peringkat tertinggi,  angkanya bahkan terus naik pada tahun 2020. Dibandingkan kekerasan, Mira menyarankan orangtua untuk menggunakan pola asuh autoritatif.

Dalam penerapannya, orangtua diharapkan mampu memberi kasih sayang, sekaligus bersikap tegas dengan menerapkan aturan yang jelas dan konsisten di rumah. Orangtua juga harus berkomunikasi dan bertekad untuk saling menghormati sebagai upaya pencegahan anak tidak melakukan kekerasan di kemudian hari. Maka itu, ayah diharapkan tidak melihat diri sebagai sosok tambahan, tapi juga satu kesatuan dengan ibu dalam mengasuh anak.

Sepakat dengan Mira, Yandra menjelaskan, orangtua harus kompak memberi nilai-nilai kehidupan pada anak. Faktor yang memengaruhi tumbuh kembang anak memang tidak hanya dari keluarga, melainkan faktor eksternal di lingkungan.

Karenanya, orangtua harus terus belajar dan berbagi peran agar memudahkan proses transfer nilai kehidupan dan kebaikan yang akan dibawa anak. "Nilai kehidupan itulah yang akan jadi pijakan anak nantinya," tandasnya.

9 Panduan Imunisasi Anak Saat Pandemi COVID-19

Infografis 9 Panduan Imunisasi Anak Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis 9 Panduan Imunisasi Anak Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya