Renungan di Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Ada yang Hilang dari Pendidikan Lingkungan di Indonesia

Pendidikan lingkungan di Indonesia dinilai mengabaikan pendekatan kontekstual menurut pegiat pendidikan masyarakat adat, Butet Manurung.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Jun 2021, 14:29 WIB
Diterbitkan 05 Jun 2021, 07:02 WIB
Tanam Pohon di Hutan Harapan
Generasi kiwari saat menanam pohon di kawasan Hutan Harapan Jambi, Sabtu (14/3/2020). Lokasi penanaman pohok di bekas areal terbakar itu menjadi ruang hidup masyarakat adat Batin Sembilan. (Liputan6.com / Dok Hutan Harapan)

Liputan6.com, Jakarta Pendidikan lingkungan merupakan modal dasar untuk memastikan prinsip-prinsip keberlanjutan ditegakkan. Dalam menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2021, sebuah startup sosial lokal, Campaign.com bersama Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) meluncurkan program Akademi Generasi Lestari yang bertujuan mewujudkan pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan.

Dalam acara Online Media Gathering Akademi Generasi Lestari pada Jumat, 4 Mei 2021, Butet Manurung yang dikenal sebagai aktivis pendidikan dan pejuang hak masyarakat adat membagikan pengalamannya mengedukasi anak muda adat untuk mendukung pembangunan. Menurut dia, walaupun populasi mereka hanya tinggal 20 persen, ilmu mereka tentang lingkungan hidup dan budaya tak bisa diremehkan.

Co-founder Sokola Institute itu menyebut mereka menguasai 80 persen biodiversitas di dunia dan 90 persen budaya di dunia. Maka, menurut Butet, layak bila masyararakat adatlah yang diberikan kredit sebagai pemelihara lingkungan dan bumi sebenarnya, bukan akademisi. Meski ada ilmu formal, akademisi tidak tinggal langsung di hutan dan kebun.

"Kita berutang sebetulnya sama mereka," ujar Butet.

Di Indonesia, sekitar 26 persen masyarakat atau 70 juta orang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Kehidupan mereka sangat bergantung kepada alam. Karena hidup berdampingan dengan alam, mereka memiliki pengetahuan tentang cara mengelola alam.

"Bagaimana supaya menghindari gigitan binatang buas, kalau digigit kobra ngobatinnya gimana, obat demam apa, termasuk melihat tanda bencana, dan tanda kalau kesasar. Semua adalah ilmu-ilmu mereka yang turun temurun dari nenek moyang kita yang sebetulnya asli punya Indonesia. Jadi, itu sebetulnya yang membantu memelihara alam di Indonesia," tutur Butet.

Maka, model pendidikan untuk orang-orang yang sangat tergantung dengan alam itu semestinya juga mendukung agar lingkungan tetap terjaga. "Kita selama ini selalu bilang menjaga hutan itu, hutan harus di-protect. Tetapi sebenernya, yang kita banyak missing kalau menurut aku, kita tidak berguru kepada orang-orang yang punya pengetahuan itu atau kita tidak mendukung bagaimana pengetahuan-pengetahuan itu tetap terjaga," katanya.

 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Abaikan Konteks, Hilang Kearifan Budaya

Suku Anak Dalam
Tiga anak orang rimba di Kampung Kalukup, Bungo, memamerkan giginya saat usai belajar menggosok giginya. (Liputan6.com/ Dok. Dessy Rizki)

Butet mengkritisi pola transfer ilmu yang tidak kontekstual bagi masyarakat adat. Memaksakan mereka masuk ke sekolah formal, sahut dia, mengancam pengetahuan tentang lingkungan dan budaya mereka sendiri yang justru mengandung kearifan lokal. Terbukti, banyak sekali ilmu pengetahuan masyarakat adat yang membantu menjaga lingkungan supaya lingkungan berkelanjutan hilang gara-gara pendidikannya tidak kontekstual dan digantikan dengan pendidikan yang seragam. 

Padahal, pendidikan semestinya inklusif. "Nggak usah terlalu sibuk mengejar tantangan global, karena sebetulnya kalau kita memenuhi potensi kita, dan mengatasi tantangan lokal, itulah kontribusi kita," ujar Butet.

Ia juga menambahkan sudah saatnya akademisi ikut berguru kepada masyarakat yang sudah ratusan tahun hidup di hutan. "UNESCO sendiri sudah bilang bahwa kita seharusnya berguru kepada masyarakat adat yang sudah terbukti cara hidupnya sustainable. Sementara, cara hidup kita terbukti dari plastik, ada MSG, penyakit-penyakit kita bervariasi. Orang rimba penyakitnya cuma malaria, pusing-pusing, demam. Nggak ada tuh kanker atau apa karena memang kehidupannya tidak sekompleks kita yang di luar," tutupnya. (Jihan Karina Lasena)

Lebih Mengenal Wisata Ramah Lingkungan

Infografis: 4 Unsur Wisata Ramah Lingkungan atau Berkelanjutan
Infografis: 4 Unsur Wisata Ramah Lingkungan atau Berkelanjutan
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya