Liputan6.com, Jakarta - Keseimbangan rasa antara pedas, asam, asin, dan manis telah begitu lekat dengan kuliner Thailand. Namun nyatanya "pedas" tidak berperan besar dalam kosakata kuliner Negeri Gajah Putih sebelum abad ke-16.
Dalam pengantar buku The Food of Thailand, lapor SCMP, Sabtu, 14 Agustus 2021, Lulu Grimes menulis, "Secara geografis, ide kuliner telah meresap ke Thailand melalui perbatasan permeabel dengan Malaysia, Laos, Kamboja, dan Burma (Myanmar). China juga membuat jejaknya pada masakan Thailand."
Hidangan yang ditemukan di sepanjang Sungai Mekong berhubungan dekat dengan Laos, Kamboja, dan Vietnam. Di sekitar Chiang Mai, ada kari dan sup ala Malaysia, dan di dekat Malaysia, resep Muslim seperti massaman dan roti adalah hal biasa.
Advertisement
Baca Juga
"Penambahan paling signifikan untuk masakan Thailand tidak datang dari Asia, tapi Amerika Selatan. Pada abad ke-16 pedagang Portugis memperkenalkan apa yang jadi salah satu ciri khas kuliner mereka, yaitu cabai," katanya.
"Kuliner Thailand, seperti budaya lain yang menerima cabai begitu mudah, telah lama memasukkan unsur pedas melalui merica hijau segar, merica putih kering, dan lengkuas," imbuh Grimes.
Ia menulis bahwa di masa lalu, monarki membantu menjaga kualitas makanan Thailand. "Prinsip dasar masakan Thailand berasal dari zaman kuno dan dijunjung tinggi selama berabad-abad oleh dapur kerajaan sambil dilengkapi pengaruh luar," catatnya.
Meski berbeda dalam hal kekayaan, bahan dasar dan resep yang digunakan, serta gaya memasak kuliner Thailand antara istana dan rakyat biasa tidak jauh berbeda, tambah Grimes.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Upaya Mempertahankan Tradisi
Grimes menguraikan, "Presentasi, dengan penggunaan seni yang rumit, dan sampai batas tertentu, kualitas bahan yang unggul tersedia di istana, dan itu yang mengangkat masakan kerajaan di atas masakan rakyat biasa. Namun, istana berusaha keras mengajarkan keterampilan kuliner dan kerajinan tangan untuk mempertahankan tradisi kebanggaan mereka."
Bab terpanjang dalam The Food of Thailand dikhususkan untuk makanan ringan dan jajanan yang "tidak mahal, bervariasi, dan lezat." Ada resep oleh Oi Cheepchaiissara untuk miang kham, ayam dibungkus daun pandan, kue jagung manis, satai ayam, kue ikan goreng dengan kacang hijau, dan panekuk kerang goreng.
Resep lainnya termasuk salad ikan, salad kacang, kepiting kari, sup nasi dengan udang dan ayam, sup bihun dengan daging babi cincang, ketan dengan mangga, suwiran ayam dan bunga pisang, kakap dengan pisang hijau dan mangga, kari merah dengan bebek panggang, tahu dan sup tomat, seafood campur cabai, dan puding tapioka dengan kelapa muda.
Advertisement
Tidak Hanya Membawa Cabai
Melansir Bangkok Post, dipercaya bahwa selain cabai, pedagang Portugis dari Amerika Selatan juga membawa rempah-rempah dari India, Persia, dan Malaga. Diperkirakan bahwa hanya cabai kering yang diperdagangkan kala itu.
Cabai kering di Siam dibeli orang Cina, yang membawa kembali ke negaranya untuk dijual. Inilah sebabnya sejumlah kota di China juga mengonsumsi cabai.
Selama periode Ayutthaya, ada hidangan istana tertentu seperti saeng wa atau salad udang yang beraroma, tapi tidak menggunakan cabai. Kala itu, cabai diyakini telah digunakan, tapi tidak cukup populer.
Itu muncul kembali dalam sebuah karyaSunthorn Pu, penyair terbesar pada masa pemerintahan Raja Rama II, yang menyebutkan cabai dan garam sebagai bahan untuk daging rusa. Begitulah cabai muncul lagi, lebih dari 100 tahun sejak periode Ayutthaya.
Infografis Diplomasi Lewat Jalur Kuliner
Advertisement