Liputan6.com, Jakarta - Gunungkidul sejak lama dikenal sebagai wilayah yang sulit air. Hal itu dirasakan pula oleh warga Grigak, Dukuh Karang, Kelurahan Girikato, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Para petani nyaris putus asa mengolah lahannya karena masalah kekurangan air.Â
"Gunungkidul ini terkenal dengan kekeringan, khususnya di musim kemarau. Masyarakat di sana itu para petaninya, karena kekurangan air, kadang-kadang waktu kemarau panjang, harus membeli air pakai tangki. Kemudian, juga harus beli pakan ternak untuk sapi atau kambing," tutur Romo Paulus Wiryono Priyotamtama, tokoh pendamping masyarakat, dalam jumpa pers virtual Embung Grigak, Selasa, 31 Agustus 2021.
Warga sebenarnya pernah memiliki akses air bersih yang bersumber di bibir pantai. Akses tersebut dibangun oleh Romo Mangun. Tapi, akses itu lenyap karena jembatan runtuh akibat gempa yang terjadi di Yogyakarta.
Advertisement
Baca Juga
Berangkat dari masalah tersebut, terciptalah ide membangun embung untuk menadah air hujan. Itulah cikal bakal Embung Grigak yang berdiri sejak 2020. Pembangunan dilakukan Yayasan Obor Tani yang bekerja sama dengan Coca-Cola Foundation Indonesia (CCFI).
"Lahan di Grigak itu karang muda, ada karstnya. Di balik itu, karena tak pernah digunakan untuk budidaya yang ekstensi, masih banyak kandungan nutrisinya. Karst yang terkandung di sana juga menaikkan pH tanah. Biasanya tanah itu pHnya 5--6, tapi di sini pH-nya bisa 6--7," tutur Direktur Eksekutif Yayasan Obor Tani Pratomo.
Selain masalah kekurangan air, lainnya bukan soal untuk bisa dikembangkan sebagai lahan pertanian hortikultural. Embung tadah hujan dipilih sebagai solusi lantaran curah hujan di sana cukup tinggi, sekitar 2.500--3.500 mm per tahun. Embung dibuat dengan skala 20 hektare untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
"Embung ini menampung air hujan tanpa merusak jalur tanah. Pembangunannya dulu direncanakan selesai 3,5 bulan, ternyata molor jadi empat bulan karena kerasnya tanah di Grigak," jelas dia.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Embung 'Mewah'
Pratomo menerangkan, embung ini menempati lahan yang 80 persennya adalah karang. Pihaknya sampai mendatangkan dua breaker untuk memecah karang agar bisa diolah. Karena cukup tajam, lahan juga dilapisi dengan biotekstil dulu baru bisa dilapisi biomembran.Â
"Jadi, dalam tanda kutip, embung ini cukup 'mewah'," ujarnya.
Embung Grigak dilengkapi dengan tenaga angin dan panel surya sebagai sumber energi. Pasalnya, posisi embung bukanlah titik tertinggi dari bukit, sehingga membutuhkan pompa untuk menyedot airnya. Kapasitas air yang tertampung di sini bisa mencapai 10 ribu m3 atau 10 juta liter air.
Pratomo mengatakan dengan kapasitas itu, bisa mengaliri maksimal 30 hektare lahan pertanian hortikultura dengan jarak tanam 7x7 meter. Saat ini, kata dia, baru diolah 15 hektare yang ditanami berbagai macam komoditas.
"Tiga jagoannya adalah kelapa kopyor, alpukat, dan kelengkeng," kata dia.
Advertisement
Dari Pertanian hingga Wisata Alam
Pratomo menerangkan alasan memilih Grigak untuk dibangun embung lantaran lokasi, kesejahteraan, dan pendapatan warganya paling tertinggal. Dengan membuat fasilitas itu, ia berharap tercipta sentra ekonomi baru. Terbukti, sejumlah pihak mulai tertarik mengembangkan Grigak.
"Sekarang pengaspalan datang dari pemerintah kabupaten. Donatur juga mulai berdatangan," kata dia.
Warga Grigak juga sudah membangun Eco Camp Mangun Karsa, yakni sebuah badan hukum yang awalnya untuk menyelesaikan masalah air. Setelah persoalan air terpecahkan, warga yang tergabung dalam badan itu kini mulai bersemangat kembali ke pertanian, perikanan, bahkan jadi objek wisata.
"Masyarakat menetapkan 40 persen pendapatan bersih disalurkan untuk mendukung pendidikan melalui Yayasan Dinamika Edukasi Dasar," imbuh Romo Paulus, seraya menyebutkan akan ada pengumpulan dana abadi untuk dana perawatan embung jangka panjang.
Sementara itu, Director of Public Affairs, Communications and Sustainability of PT Coca-Cola Indonesia dan Ketua Pelaksana CCFI Triyono Prijosoesilo berharap embung itu bisa berfungsi sampai 30 tahun. Dalam masa itu, embung diharapkan bisa bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan warga.
"Masyarakat berperan sangat penting. Keberhasilan apa pun tidak bisa sukses tanpa dukungan masyarakat," ujar Triyono.
Apa Kabar Petani?
Advertisement