Liputan6.com, Jakarta - Sebagai salah satu kekayaan budaya Nusantara, batik sudah sepatutnya dijaga kelestariannya. Langkah nyata ini pula yang ditunjukkan oleh para pembatik muda yang tak lelah berkarya dan melahirkan kain batik penuh cerita.
Semangat terus membatik datang dari pembatik muda Sleman, Yogyakarta bernama Nuri Ningsih Hidayati. Ketertarikan dan kecintaan yang besar pada salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO ini dengan mendirikan label batik, Marenggo Natural Dyes Batik pada 2015 lalu.
"Kita masih terus konsisten dan tetap fokus dengan warna alami karena warna alam prosesnya berkelanjutan, dari bahan-bahan, material bahan warnanya seperti kayu-kayu, materialnya pakai katun," kata Nuri saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 1 Oktober 2021.
Advertisement
Baca Juga
Di tahun ini, Nuri banyak mengeksplorasi inovasi warna yang didapatnya dari kayu yang berbeda. Pembatik berusia 29 tahun ini menjelaskan dirinya telah menguji coba hal tersebut dan mendapat respons baik saat dibagikan ke pelanggan.
"Dari inovasi yang terus dilakukan, akhirnya customer terus selalu memberi support kita berlanjut, tanpa ada customer yang berlanjut, kita juga tidak jadi apa-apa," tambahnya.
Tambahan materi mengenai eksplorasi warna ini didapatkan ketika Nuri mengikuti program Australia Awards di Melbourne, Australia pada 2017. Acara ini membuatnya memiliki koneksi dengan orang Australia yang mencoba untuk saling berbagi warna.
"Proses pencarian uji coba sampai dua bulan, termasuka mencari tanaman. Yang paling sulit menghasilkan warna yang sesuai yang pas sesuai SOP di sini. Akhirnya dapat empat warna dari satu tanaman. Yang dipakai cuma yang dominan dan dipakai yang lebih kuat," jelas Nuri.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tantangan
Selain mengeksplorasi warna hingga membuat Tritik Jawa, Nuri juga menyebut di 2021 ini ia bekerja sama dengan Jepang. Perkenalan ini terjadi pada awal 2020 ketika diundang pihak UNESCO untuk bertemu dengan perwakilan dari Negeri Sakura di Jakarta.
"Pertemuan waktu itu mempresentasikan karya-karya warna alam, ternyata cocok dengan Jepang dari segi warna dan desain. Ini sudah keempat kali kirim ke Jepang dan ini setahun dua kali proses pengiriman ke Singapura," jelasnya.
Menjalani kecintaan membatik dengan pewarna alam tentu bukan tanpa halangan. Nuri menyampaikan beberapa tantangan yang ia hadapi.
"Kebanyakan masih ingin batik yang (warna) ngejreng, kesadaran pada warna alam dan peduli lingkungan sekitar. Semoga dengan konsistensi ini kita bertambah lagi customer-nya," kata Nuri.
"Launching baju baru segmennya tambah lagi, semoga dari situ ketertarikan pada warna alam lebih meningkat lagi," tutupnya.
Advertisement
Batik 3 Negeri dari Lasem
Semangat melestarikan batik juga datang dari seorang pembatik muda dari Lasem, Rembang, Jawa Tengah bernama Javier Hartono. Kecintaannya pada batik bermula ketika batik ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009 lalu.
"Saya mulai mencari jati diri bisnis dan ketika booming batik baru diresmikan sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO. Sebelum itu, enggak ada ketertarikan sama sekali. Saya optimis bisa dipertahankan," kata Javier saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 1 Oktober 2021.
Niatnya kian mantap dengan terjun ke dunia batik pada 2015 selepas menyelesaikan studi. Teknik membatik pun didapatkan pria berusia 25 tahun ini dari sang kakek yang juga maestro batik Lasem, Sigit Witjaksono.
Melalui batik, ia ingin memotret realitas yang telah lama membalut Lasem. "Saya keturunan Tionghoa dan agama saya islam, Lasem adalah potret satu paket akulturasi budaya, ras, membaur jadi satu," tambahnya.
Bicara soal batik, Javier berfokus pada Batik 3 Negeri. Batik ini dikatakannya menjadi salah satu batik Lasem yang sangat menggambarkan akulturasi budaya di sana.
"Adanya warna chinese red atau merah darah ayam, soga, dan biru indigo. Itu sangat mendasar sekali, (merah) warna kebanggaan etnis Tionghoa, warna hitam soga yaitu warna priyayi pribumi, dan warna biru kerap dibawa pedagang-pedagang Timur Tengah dan kesukaan orang Eropa," jelasnya.
"Kami ingin merangkum semua itu dalam satu lembar kain batik. Yang membuat saya semangat untuk menyebarkan ke seluruh indonesia kita jangan sampai terjadinya kesenjangan antar-suku," tutur Javier.
Di sisi lain, Javier sempat meneliti penyebab hampir punahnya batik. "(Penyebabnya) karena faktor kesejahteraan para perajin batik. Mengatur efisiensi produksi bagaimana bisa menjaga kualitas, tapi mempersingkat waktu produksi sehingga biayanya bisa diberikan kepada perajin," tambahnya.
Javier juga mengajak para generasi muda untuk kian memperpanjang napas batik di masa mendatang. Saat ini, setidaknya sudah ada beberapa anak muda berusia 25--30 tahunan yang ambil bagian dalam pelestarian batik.
Infografis Motif-Motif Batik Indonesia
Advertisement