Liputan6.com, Jakarta - Ajang Miss Prancis tengah jadi sorotan publik. Kontes kecantikan berusia 101 tahun ini menghadapi gugatan grup aktivis feminis dan tiga calon kontestan yang gagal karena diduga menetapkan persyaratan yang diskriminatif.
Dilansir dari CNN, Kamis (21/10/2021), banding telah diajukan terhadap perusahaan induk kontes, Endemol Production, oleh Osez le féminisme. Pihaknya menyebut dalam pernyataan, Selasa, 19 Oktober 2021, kontestan Miss Prancis menjalankan layanan kerja dan karena itu harus dilindungi dari prasangka di bawah undang-undang ketenagakerjaan Prancis.
Diskriminasi terhadap karyawan berdasarkan jenis kelamin, orientasi seksual, situasi keluarga, atau karakteristik genetik dianggap melanggar hukum di Prancis. Formulir pendaftaran kontes kecantikan nasional di 2021 ini mengungkapkan beberapa hal.
Advertisement
Baca Juga
Sebut saja kandidat tidak akan dipertimbangkan jika mereka tidak memiliki tinggi setidaknya 5,5 kaki (setara 167,64 sentimeter) atau jika mereka pernah menikah atau memiliki anak. Diskualifikasi lebih lanjut untuk calon kontestan, termasuk mereka yang memakai ekstensi rambut, bertato, dan merokok.
Pendaftaran itu juga menanyakan ukuran pakaian dan meminta calon ratu kecantikan tidak mengalami perubahan fisik yang berarti setelah diterima dalam kompetisi. Jika tidak mematuhinya, kontestan dapat didenda lima ribu euro (Rp82,4 juta), menurut syarat dan ketentuan Miss Prancis.
Kontes kecantikan itu mengungkap misinya adalah menemukan "perempuan muda yang paling mewakili kecantikan dan keanggunan." Ini kemudian berpengaruh pada persyaratan pendaftaran yang ketat.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tuai Kritik
Menanggapi persyaratan tersebut, Osez le feminisme mengatakan, "Selain mengeksploitasi perempuan untuk keuntungan ekonomi, kontes ini, melalui pelanggaran hukum yang bersalah, berdampak negatif dan kemunduran pada seluruh masyarakat."
"Sudah saatnya Endemol Production menghapus semua klausul seksis dari peraturannya," tambahnya. Alyssa Ahrabare, ketua Osez le féminisme, menulis di media sosial bahwa Miss Prancis saat ini "memberikan stereotip yang menghalangi kesetaraan."
"Aturan kompetisi bersifat diskriminatif: status perkawinan, usia, sikap, pilihan penggemar, semuanya tunduk pada perintah dari waktu lain! Kandidat harus lajang dan menghormati aturan 'keanggunan,' hentikan aturan seksis ini!" tulisnya.
Ini bukan pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir dunia kontes kecantikan dikritik karena kode etik dan budayanya yang ketinggalan zaman. Pada 2013, Prancis memutuskan melarang kompetisi untuk anak-anak di bawah 16 tahun karena kekhawatiran mempromosikan hiper-seksualisasi anak di bawah umur.
Advertisement
Bukan Kali Pertama
Beberapa negara mengikutinya, meskipun ada sejumlah petisi. Pada 2018, model Veronika Didusenko dicabut gelar Miss Ukraina-nya ketika penyelenggara mengetahui bahwa ia adalah seorang ibu.
Miss India juga mendapat sorotan pada 2019 karena melanggengkan warna kulit dengan secara eksklusif memilih kontestan berkulit putih. Lalu, awal tahun ini, Miss United States of America, sebuah kontes terpisah untuk Miss USA, memenangkan hak melarang perempuan transgender berkompetisi.
Meski begitu, ada pula perubahan positif, seperti Zozibini Tunzi menjadi perempuan kulit hitam pertama dengan rambut alami yang menyabet Miss Universe 2019. Selain itu, tahun lalu, India menobatkan Miss Transqueen ketiga mereka.
Infografis Yuk Kenali 4 Risiko Mobilitas Saat Liburan untuk Cegah Covid-19
Advertisement