Cerita Akhir Pekan: Belajar Menghargai Pohon dari Masyarakat Adat

Bagi masyarakat adat, pohon tidak semata tumbuhan berbatang keras dan besar. Salah satunya memaknai pohon sebagai "mama."

oleh Asnida Riani diperbarui 27 Nov 2021, 10:00 WIB
Diterbitkan 27 Nov 2021, 10:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi pohon. (dok. pexels/Johannes Plenio)

Liputan6.com, Jakarta - Hari Menanam Pohon yang jatuh pada 28 November setiap tahunnya bisa Anda maknai dengan berbagai cara. Satu di antara lusinan yang lain adalah meneladai penghargaan akan pohon oleh masyarakat adat.

Pasalnya, pemahaman mereka akan pohon tidak berhenti pada tumbuhan berbatang keras dan besar. Orang Papua misalnya, yang menganggap pohon yang membentuk hutan di wilayah adat mereka sebagai "mama," kata advisor program Yayasan EcoNusa, Muhammad Farid.

"Bagi mereka, kebutuhan sehari-hari dapat diperoleh dari hutan. Mereka juga menganggap hutan sebagai 'supermarket' yang menyediakan kebutahan pokok, termasuk obat-obatan," paparnya melalui pesan pada Liputan6.com, Kamis, 25 November 2021.

Dengan demikian, Farid menyambung, orang Papua sangat menghargai tanahnya, pohonnya, dan hutannya karena memang kebutuhan mereka terpenuhi langsung dari sana. "Secara tidak langsung, mereka juga memahami bahwa udara dan air segar berasal dari hutan," imbuhnya.

Ia beranggapan, kearifan tradisional dalam menghargai pohon yang menarik ditiru adalah pendekatan pengelolaan kawasan hutan secara zonasi yang disebut "Igya Ser Hanjob," yang mana berarti menjaga hutan dengan penetapan peruntukannya. Ini, kata Farid, sudah dilakukan suku Hatam dan Meyah di Pegunungan Arfak, Papua Barat selama bertahun-tahun.

"Konon pendekatan ini diadopsi pemerintah untuk pengelolaan cagar alam. Konsep ini juga hampir sama dengan pengelolaan Socio Bosque yang menetapkan kawasan secara zonasi oleh masyarakat asli di Quito, Kolombia," ujar Farid.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pemetaan Wilayah Keramat

Ilustrasi
Ilustrasi pohon. (dok. pexels/veeterzy)

Secara khusus, masyarakat asli Papua menentukan wilayah hutan keramat, bahkan pohon keramat. Farid menyebut, wilayah ini umumnya sudah diketahui masyarakat, sehingga pohon di area tersebut tidak boleh ditebang.

"Karena kepercayaan ini begitu melekat, untuk mengonservasi hutan sewaktu saya bekerja di Conservation International tahun 2006, kami pernah mengusulkan kawasan hutan yang dianggap keramat ke dalam kawasan IUPHH PT Mamberamo Alas Mandiri untuk 'di-enclave' dan dikelola masyarakat untuk carbon conservation yang akan mendapat insentif," tuturnya.

"Demikian juga saat ini, ketika bergabung di Yayasan EcoNusa, kami menerapkan hal yang sama: memetakan wilayah kelola adat di Malaumkarta Raya yang selanjutnya dikonservasi dengan pemanfaatan hasil hutan non-kayu untuk mendukung upaya pemerintah melindungi (pelepasan) karbon yang memicu pemanasan global," katanya.

"Jadi semacam dari Papua untuk dunia," imbuhnya.

Kearifan lokal berupa pemetaan wilayah ini diwariskan secara turun-temurun, baik secara lisan atau melalui sekolah adat yang dikenal sebagai "wuon." Itu merupakan sebutan sekolah adat khusus laki-laki di dalam hutan yang tidak dapat dikunjungi masyarakat, selain guru dan siswa.

"Biasanya, sebelum (sekolah) dimulai, guru atau tua-tua adat akan mengumumkan ke kampung, sehingga masyarakat tidak sembarangan masuk wilayah inisiasi. Biasanya, murid-murid berasal dari sejumlah daerah, termasuk beberapa kampung di SorSel, Maybrat, Tambrauw," ujarnya.


Sistem Sasi di Kepulauan Maluku

Akar pohon
Ilustrasi pohon (Sumber: Pixabay)

Sementara di sebagian besar Kepulauan Maluku menerapkan sistem sasi, yaitu penentuan periode untuk tidak melakukan pemanenan hasil hutan dan laut. Hal ini dilakukan secara turun-temurun guna memberikan waktu pada binatang buruan dan hasil laut untuk berkembang, juga pohon untuk berbuah.

"Biasanya di Indonesia timur ini dikenal dengan 'tutup-buka sasi' atau penentuan waktu untuk tidak memanen, biasaya bulan Juni, kemudian sasi dibuka akhir atau awal Desember menjelang perayaan Natal," ucapnya.

Dalam banyak kasus, penentuan wilayah adat, selain tanda alam seperti pegunungan dan sungai, pohon-pohon tertentu juga jadi referensi batas wilayah kepemilikan tanah adat.

Semua tradisi yang telah dijalani secara turun-temurun itu tengah menghadapi ancaman. Yang paling mendesak, menurut Farid, adalah alih fungsi lahan untuk perkebunan, terutama dalam skala luas, dan pertambangan skala besar.

"Ini jelas merusak ekosistem yang sudah terbangun dan kohesi hubungan antara masyarakat adat dengan hutan di sekeliling mereka. Setiap tipe hutan memiliki karakteristik di mana masyarakat adat dapat memanfaatkan hasil hutan bukan kayu secara berkelanjutan," tuturnya.

Ia menyambung, "Saat ada pembukaan hutan skala besar atau deforestasi, tatanan kehidupan di dalam ekosistem hutan akan rusak. Fungsi ekosistem yang menyediakan kebutahan pokok, serta fungsi 'supermarket' bagi masyarakat (adat) akan hilang dalam sekejap."


Jangan Lagi Cuma Jadi Penonton

Ilustrasi pohon, hutan
Ilustrasi pohon. (Photo by Arnaud Mesureur on Unsplash)

Di tengah ancaman tersebut, Farid menyebut, pemuda di Papua sekarang mulai kreatif menghidupkan kelompok-kelompok peduli hutan. Mereka bergerak untuk mendorong pemanfaatan jasa lingkungan dari hutan, termasuk kembali menanam pohon di kampung masing-masing.

"Bibit-bibit seperti kayu besi, matoa, dan gaharu merupakan tanaman yang banyak diminati. Mereka bilang, 'Kita kalau ambil pohon terus nanti kita punya anak cucu bagaimana?'" katanya.

Yayasan EcoNusa sendiri telah membangun sekolah transformasi kampung di berbagai kampung di Papua dan Kepulauan Maluku guna menggali kekayaan alam yang dapat dikelola agar mereka dapat membangun ketahanan pangan, air, energi, dan iklim.

Bersama upaya itu, advokasi yang paling mendesak, menurut Farid, adalah mendorong kebijakan alokasi ruang bagi pelestarian budaya dari setiap komunitas suku maupun marga. Advokasi ini harus didukung hasil-hasil riset terkait pemetaan wilayah adat, pengetahuan tentang ekosistem, hasil hutan non-kayu, serta perencanaan pengelolaan berbasis masyarakat adat.

"Karena, menurut saya, pendekatan berbasis masyarakat adat telah memenuhi standar environmental, social, dan governance safeguard," tuturnya. "Selain itu, perlu didorong lebih banyak lagi kewirausahaan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam yang lestari karena selama ini yang dianggap bisa mengelola hanya perusahaan, pemilik wilayah adat justru hanya jadi penonton."

Terlepas dari itu, Yayasan EcoNusa akan memperingati Hari Pohon Sedunia bekerja sama dengan para alumni School of Eco Diplomacy yang terlibat di berbagai kegiatan penanaman pohon.


Infografis Kebakaran Hutan dan Bencana Kabut Asap di Indonesia

Infografis Kebakaran Hutan dan Bencana Kabut Asap di Indonesia
Infografis Kebakaran Hutan dan Bencana Kabut Asap di Indonesia. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya