Wah, Kata Oppa Resmi Masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia

Faktanya, oppa bukanlah kata asing pertama yang masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

oleh Asnida Riani diperbarui 15 Jul 2022, 11:03 WIB
Diterbitkan 15 Jul 2022, 11:03 WIB
20161220-Wawancara Khusus Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa-Jakarta
Kepala Bidang Pengembangan Pusat Pengembangan dan Pelindungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dora Amalia, menunjukkan kosakata yang akan dimasukkan ke KBBI di ruang kerja, Jakarta, Selasa (20/12). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Oppa, kata yang sudah akrab di telinga para pecinta kultur pop Korea, kini masuk jadi kata resmi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Melansir situs webnya, Jumat (15/7/2022), kata itu diartikan sebagai "panggilan dari perempuan pada laki-laki lebih tua, biasanya yang memiliki hubungan dekat atau sudah saling mengenal cukup lama (seperti kakak kandung, teman, atau kekasih)."

Faktanya, ini bukan kali pertama bahasa asing masuk ke KBBI. Pada pemutakhiran periode April 2022, penyusun melaporkan penambahan informasi etimologi berupa unsur serapan dari bahasa Mandarin, Hokkien, Kanton, Ningpo, dan Hakka. Ini termasuk kata-kata, seperti fengsui, angpau, puyunghai, dacin, dan micin. 

"Selain penambahan entri baru, pada pemutakhiran kali ini juga terdapat beberapa perubahan pada entri dan makna yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi termutakhir," begitu keterangan mereka.

KBBI telah mengikuti peradaban masyarakat Indonesia yang terus berkembang dan berubah.  Seiring perkembangan zaman dan teknologi, kata-kata tertentu bisa masuk dalam perbendaharaan KBBI, yang mana pemutakhirannya terjadwal dua kali dalam setahun, yakni bulan April dan Oktober.

Dora Amalia, yang saatdiwawancarai kanal Citizen Liputan6.com menjabat sebagai Kepala Bidang Pengembangan, Pusat Pengembangan, dan Pelindungan Badan Bahasa, menjelaskan bahwa kata-kata yang diusulkan masuk dalam KBBI akan diteruskan ke meja redaktur, lalu ke meja validator.

Badan Bahasa kemudian menggelar lokakarya untuk menentukan apakah kata tersebut layak dimasukkan ke dalam KBBI atau tidak. Ia menyambung, terkadang terjadi berbagai perdebatan karena para pekamus yang bekerja menyusun KBBI memiliki berbagai macam acuan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Menjaga Ketepatan Definisi

Ilustrasi KBBI
Ilustrasi KBBI. (KBBI Kemendikbud.go.id)

Dia mengatakan, Badan Bahasa menerapkan seleksi sangat ketat untuk menjaga mutu KBBI, utamanya dalam hal ketepatan definisi. Meski sudah melalui beberapa tahap untuk dimasukkan ke KBBI, ia menyebut sebuah kata usulan bisa saja ditolak.

Alasannya, konsep kata dianggap sudah ada dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang sudah masuk ke KBBI. Kata yang terlalu perinci dan memiliki bunyi tidak sedap didengar juga akan ditolak.

Selain itu sebelum masuk dalam KBBI, sebuah kata juga harus lebih dulu sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia secara semantis, leksikal, fonetis, pragmatis, dan penggunaan. Persyaratan tersebut terangkum dalam lima indikator.

Pertama, unik. Kata yang diusulkan, baik berasal dari bahasa daerah maupun bahasa asing, memiliki makna yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut akan berfungsi menutup rumpang leksikal alias kekosongan makna dalam bahasa Indonesia. Akhirnya kata tersebut akan dicantumkan bersama kode tertentu.

Oppa, misalnya. Dalam pencantumannya, dituliskan kode "Kor" untuk menjelaskan bahwa itu berasal dari bahasa asing, dalam hal ini bahasa Korea.

Sedap Didengar

20161220-Wawancara Khusus Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa-Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia dari jild I hingga V yang ada Badan Pemgembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Selasa (20/12). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Kedua, eufonik atau sedap didengar. Kata yang diusulkan tidak mengandung bunyi tidak lazim dalam bahasa Indonesia atau sesuai kaidah fonologi bahasa Indonesia. Persyaratan ini dimaksudkan agar kata tersebut mudah dilafalkan oleh lidah penutur bahasa Indonesia dengan beragam latar bahasa ibu dan bahasa daerah.

Misalnya, akhiran /g/ dalam bahasa Betawi/Sunda/Jawa jadi /k/ dalam bahasa Indonesia atau fonem /eu/ dalam bahasa Sunda jadi /e/ dalam bahasa Indonesia. Contoh dalam katanya di antara lain mandeg (Jw) jadi mandek, sementara geulis (Sd) jadi gelis.

Indikator selanjutnya, yakni seturut kaidah bahasa Indonesia. Kata tersebut dapat dibentuk dan membentuk kata lain dengan kaidah pembentukan kata bahasa Indonesia, seperti pengimbuhan dan pemajemukan. Misalnya, struktur jadi berstruktur; menstrukturkan; penstrukturan; terstruktur.

Keeempat, tidak berkonotasi negatif. Kata yang memiliki konotasi negatif tidak dianjurkan masuk karena kemungkinan tidak berterima di kalangan pengguna tinggi. Misalnya, beberapa kata yang memiliki makna sama yang belum ada dalam bahasa Indonesia.

Konotasi Lebih Positif

Kamus Besar Bahasa Indonesia V
Kamus Besar Bahasa Indonesia dari jilid I hingga V yang ada di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Selasa (20/12). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Dari beberapa kata tersebut, yang akan dipilih masuk ke dalam KBBI adalah kata yang memiliki konotasi lebih positif. Misalnya, lokalisasi dan pelokalan memiliki makna sama. Namun, bentuk terakhir lebih dianjurkan karena memiliki konotasi yang lebih positif. Konotasi tersebut dapat dilihat dari sanding kata yang mengikuti setiap kata tersebut.

Indikator terakhirnya adalah kerap dipakai. Sering atau tidaknya pemakaian sebuah kata diukur menggunakan frekuensi dan julat. Frekuensi adalah seberapa sering sebuah kata dalam korpus, sementara julat adalah ketersebaran kemunculan kata tersebut di beberapa wilayah. Sebuah kata dianggap kerap dipakai jika frekuensi kemunculannya tinggi dan wilayah kemunculannya juga tersebar secara luas.

Yang dicontohkan dalam kasus ini adalah bobotoh yang ketersebaran penggunaannya meluas di beberapa kota di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Tak hanya itu, frekuensi kemunculannya juga tinggi. Untuk menguji hal tersebut, bantuan teknologi seperti mesin pencari Google, yakni Googletrends dan Google search, bisa digunakan.

Infografis Yuk, Waspadai 7 Gejala Ringan Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Yuk, Waspadai 7 Gejala Ringan Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya