Liputan6.com, Jakarta - Seorang pria Iran yang tinggal selama 18 tahun di Bandara Charles de Gaulle Paris, Prancis, meninggal dunia pada Sabtu, 12 November 2022. Mehran Karimi Nasseri, yang kisah hidupnya menginspirasi film The Terminal, menghembuskan napas terakhir setelah serangan jantung di Terminal 2F sekitar tengah hari, menurut seorang pejabat otoritas bandara Paris.
Melansir CNA, Senin (14/11/2022), polisi dan tim medis sempat memberi pertolongan, tapi tidak dapat menyelamatkannya, kata pejabat itu. Pejabat itu sendiri tidak berwenang untuk disebutkan namanya secara publik.
Advertisement
Baca Juga
Nasseri tinggal di Terminal 1 bandara Paris dari 1988 hingga 2006, yang awalnya karena limbo hukum akibat ia tidak memiliki surat-surat residensi. Tahun demi tahun, ia tidur di bangku plastik merah, berteman dengan pekerja bandara, mandi di fasilitas staf, menulis di buku hariannya, membaca majalah, dan mengamati pelancong yang lewat.
Staf menjulukinya Lord Alfred, dan ia jadi "selebritas lokal" di antara penumpang. "Pada akhirnya, saya akan meninggalkan bandara," katanya pada Associated Press pada 1999 sambil merokok pipa di bangkunya, tampak lemah dengan rambut tipis panjang, mata cekung, dan pipi cekung. "Tapi, saya masih menunggu paspor atau visa transit."
Nasseri lahir pada 1945 di Soleiman, bagian dari Iran yang saat itu berada di bawah yurisdiksi Inggris, dari ayah Iran dan ibu Inggris. Ia meninggalkan Iran untuk belajar di Inggris pada 1974. Ketika kembali, katanya, ia dipenjara karena memprotes shah dan dikeluarkan dari Iran tanpa paspor.
Berdampak pada Kondisi Mental
Nasseri telah mengajukan suaka politik di beberapa negara di Eropa. Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di Belgia memberinya kredensial pengungsi, tapi ia mengatakan tas kerjanya yang berisi sertifikat pengungsi dicuri di stasiun kereta Paris.
Polisi Prancis kemudian menangkapnya, namun tidak dapat mendeportasinya ke mana pun karena ia tidak memiliki dokumen resmi. Nasseri pun berakhir di Charles de Gaulle pada Agustus 1988 dan tinggal di sana sejak itu.
Kecerobohan birokrasi lebih lanjut dan undang-undang imigrasi Eropa yang semakin ketat membuatnya berada di tanah tak bertuan yang sah selama bertahun-tahun. Ketika akhirnya menerima dokumen pengungsi, ia menggambarkan keterkejutannya dan rasa tidak aman tentang meninggalkan bandara.
Ia dilaporkan menolak menandatanganinya, dan akhirnya tinggal di sana beberapa tahun lagi sampai ia dirawat di rumah sakit pada 2006. Nasseri kemudian tinggal di tempat penampungan di Paris.
Mereka yang berteman dengannya di bandara mengatakan, tahun-tahun tinggal di ruang tanpa jendela berdampak pada kondisi mentalnya. Dokter bandara pada 1990-an mengkhawatirkan kesehatan fisik dan mentalnya, menggambarkannya sebagai "difosilkan di sini."
Advertisement
Beda dari Film
Sementara, seorang teman agen tiket membandingkan Nasseri dengan seorang tahanan yang tidak mampu "hidup di luar." Dalam minggu-minggu sebelum kematiannya, Nasseri telah kembali tinggal di Charles de Gaulle, kata pejabat bandara.
Kisah Nasseri yang membingungkan mengilhami film The Terminal tahun 2004 yang dibintangi Tom Hanks, serta sebuah film Prancis, Lost in Transit, dan sebuah opera berjudul Flight. Dalam The Terminal, Hanks memerankan Viktor Navorski, seorang pria yang tiba di bandara JFK di New York dari negara fiksi Krakozhia di Eropa Timur.
Ia kemudian menemukan bahwa revolusi politik dalam semalam telah membatalkan semua dokumen perjalanannya. Viktor dibuang ke ruang tunggu internasional bandara dan diberitahu harus tinggal di sana sampai statusnya beres, yang berlarut-larut saat kerusuhan di Krakozhia berlanjut.
Kisah Nasseri di dalam bandara dikenang Hanks dalam film The Terminal. Juru bicara bandara mencatat, lapor CNN, "Film Spielberg menunjukkan bahwa ia terjebak di zona transit di Paris-Charles de Gaulle. Kenyataannya, Nasseri memang menghabiskan waktu beberapa kali di sana, tapi (kemudian) selalu (berada) di area publik bandara, ia selalu bebas bergerak."
Klaim Berubah-ubah
Nasseri kembali ke bandara pada pertengahan September 2022 "untuk hidup sebagai tunawisma di ruang publik bandara." Melansir New York Times, ia tinggal di antara restoran pizza dan toko elektronik, "menanam" dirinya sendiri di bangku plastik merah yang ia buat sebagai rumah.
Di atas meja kopi, ia memiliki cermin tangan; alat cukur listrik, yang ia gunakan setiap pagi; dan kumpulan kliping pers yang menceritakan statusnya sebagai sosok aneh di Prancis. Hari-harinya diselingi ritme penerbangan dan kehadiran para pelancong, yang jumlahnya membengkak di pagi hari dan berkurang di malam hari, meninggalkannya sendirian untuk tidur di bangku melengkung yang disukainya.
Pegawai bandara secara rutin akan memberinya kupon makan, dan pramugari akan memberinya perlengkapan mandi yang ditinggalkan penumpang kelas satu. "Saya sadar saya terkenal," kata Nasseri dalam artikel majalah New York Times tahun 2003. "Saya tidak menarik sampai saya datang ke sini."
Kisahnya jadi cerita aneh dalam sejarah imigrasi, dan beberapa detail tentang latar belakangnya terbukti sulit dijabarkan karena klaim tentang asal-usulnya yang berubah-ubah. Dalam artikel tersebut, ia menyangkal sebagai orang Iran dan mengalihkan pertanyaan tentang masa kecilnya di Teheran. Namun, pejabat bandara mengatakan mereka telah mengonfirmasi bahwa Nasseri lahir di Iran, di kota tempat Masjid Sulaiman berada, pada 1945.
Advertisement