Cerita Akhir Pekan: Dilema Wisata di Wilayah Konservasi

Pembatasan pengunjung harus dilakukan di sejumlah destinasi wisata konservasi karena untuk pelestarian alam dan lingkungan sekitarnya.

oleh Henry diperbarui 09 Jan 2023, 10:34 WIB
Diterbitkan 07 Jan 2023, 08:30 WIB
Candi Borobudur
Pengelola Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko menyiapkan protokol kesehatan yang ketat bagi wisatawan yang berkunjung pada masa uji coba pembukaan wisata candi tersebut mulai Rabu, 1 Juli 2020. (Liputan6.com/ Kemenparekraf)

Liputan6.com, Jakarta - Wisata di wilayah konservasi merupakan bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian alam, memberi manfaat secara ekonomi, dan mempertahankan keutuhan budaya masyarakat setempat. Belakangan ini minat wisatawan mengunjungi kawasan wisata alam termasuk wisata konservasi semakin meningkat.

Di sisi lain, pembatasan pengunjung harus dilakukan di sejumlah destinasi wisata konservasi karena untuk pelestarian alam dan lingkungan di tempat tersebut. Padahal biaya mengelola wisata konservasi tidaklah murah. Untuk mensiasati penghasilan tambahan dengan menaikkan harga tiket juga bukan perkara mudah.

Contohnya, kenaikan harga tiket di Pulau Komodo dan Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur urung dilakukan. Menurut Marketing & Sales Vice President PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko (TWC) Pujo Suwarno, untuk pengaturan pengunjung di Borobudur sudah ada pembatasan terutama untuk naik ke bagian candi.

"Untuk pembatasan pengunjung dalam sehari dibatasi sebanyak 1.200 orang dengan jam buka dari pukul 8 pagi sampai pukul sore. Pengunjung juga diatur secara berkelompok, tiap kelompok biasanya ada 10 orang dan tiap kelompok ada pemandunya," jelas Pujo pada Liputan6.com, Kamis, 5 Januari 2023.

“Kita juga sudah punya tata tertib untuk pengunjung candi, apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Tapi sifatnya baru berupa himbauan jad sanksinya baru berupa teguran,” lanjutnya.

Sementara menurut Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan (Events), Kemenparekraf Rizki Handayani Musrafa,  pengembangan pariwisata Indonesia tidak lagi fokus mengejar target jumlah kunjungan wisatawan atau kuantitas, melainkan mendorong pariwisata berkualitas dan berkelanjutan. Pariwisata berkelanjutan erat kaitannya dengan pengembangan destinasi konservasi dimana dapat memberikan dampak positif jangka panjang baik dari sisi peduli lingkungan, sosial, budaya, hingga ekonomi berkelanjutan.

"Wisata konservasi berbasis alam dan petualangan menjadi sangat ideal berkembang pascapandemi karena wisatawan cenderung memilih melakukan kegiatan di luar ruangan, jauh dari keramaian, serta dalam kelompok kecil. Jadi, wisata konservasi berpotensi besar mendorong pergerakan wisatawan pascapandemi. Kecenderungan ini terus menampakkan tren meningkatnya jumlah destinasi wisata konservasi ditopang dengan kehadiran ceruk pasar (niche market) yang berbasis pada variasi atraksi minat khusus," terang Rizki pada Liputan6.com, Sabtu (7/1/2023).

Saat ini Indonesia memiliki banyak potensi destinasi wisata konservasi berbasis alam yang mencakup ekowisata, wisata bahari dan wisata petualang. Itu semua tersebar di seluruh provinsi di Tanah Air dan bahkan masih banyak yang belum tergali serta terpromosikan.

Kemampuan Alam

Gunung Rinjani
Meski tidak sepopuler jalur pendakian Senaru dan Senalun, Torean oleh masyarakat lokal kerap digunakan “jalan singkat” untuk langsung sampai ke Danau Segara Anak di Gunung Rinjani. Foto: Andi Jatmiko/ Liputan6.com.

Destinasi wisata di wilayah konservasi lainnya yaitu Taman Nasional (TN) Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) juga menerapkan pembatasan pengunjung berdasarkan Kajian Daya Dukung Daya Tampung (DDDT).

Hal ini dilakukan karena prinsip wisata konservasi bukan mass tourism atau mendatangkan sebanyak-banyaknya pengunjung melainkan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan kemampuan alam dalam menampung pengunjungnya serta bagaimana membuat pengunjung aman dan nyaman.

"Berdasarkan kajian DDDT pada jalur wisata pendakian setiap harinya untuk jalur yang terkoneksi Sembalun, Senaru dan Torean masing-masing 150 orang sehingga total 450 orang," kata Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Dwi Pangestu pada Liputan6.com, Kamis, 5 Januari 2022.

"Untuk jalur pendakian yang tidak terkoneksi dan hanya sampai Pelawangan seperti Timbanuh, Tetebatu dan Aikberik, per harinya hanya menampung 100 orang," lanjutnya.

Balai Taman Nasional Gunung Rinjani atau BTNGR telah membuat kebijakan SOP Pendakian yang telah diterapkan melalui aplikasi rinjaninationalpark.id. Menurut Dwi, pengunjung harus menyetujui dan mematuhi aturan tersebut mau bisa mendapatkan e-ticketing, termasuk wajib mengisi form sampah sesuai barang yang akan dibawa.

BTNGR juga melakukan pengecekan barang bawaan di pintu pendakian (pack in) saat check-in dan mengecek sampah yang dibawa turun (packout) saat check-out di pintu pendakian.

Fungsi Perlindungan

Kawasan TNKS di Jambi
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan kawasan paling banyak dihuni kawanan harimau di Sumatera. (Liputan6.com/B Santoso)

"BTNGR juga memiliki SOP Penanganan Sampah yang diterapkan dalam program seperti clean up. Pengunjung yang tidak membawa sampah bisa dikenakan sanksi hingga mem-blacklist pengunjung," terang Dwi.

Untuk membangun fasilitas tambahan, pihak lain dapat melakukan kerjasama dengan BTNGR dan dihibahkan untuk menjadi aset negara. "Untuk penentuan harga tiket masuk sudah ada aturannya berdasarkan PP No. 12 Tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan," sambung Dwi Pangestu.

Hal senada juga diungkapkan pengelola Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).  Menurut Nurhamidi SH selaku Kepala Seksi PTN. Wil. 1 Kerinci Balai Besar TN. Kerinci Seblat yang berbasis di Jambi, TNKS sebagai kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya hayati dan ekosistemnya.

Banyak destinasi wisata di dalam kawasan TNKS yang diminati para pengunjung antara lain: Gunung Kerinci, Danau Gunung Tujuh, Rawa bento, danau Kaco dan masih banyak lagi. "Mengenai pembatasan pengunjung di lokasi wisata TNKS sudah dilakukan sesuai dengan hasil kajian terkait daya dukung dan daya tampung lokasi wisata, meskipun belum secara keseluruhan lokasi wisata TNKS dilakukan kajian,” jelas Nurhamidi lewat pesan pada Liputan6.com,"Kamis, 6 Januari 2022.

Pembatasan terhadap pengunjung dilakukan dengan mencatat dan mendata jumlah pengunjung yang akan memasuki kawasan wisata di dalam kawasan TN. Bila jumlah pengunjung sudah melebihi kuota yang sudah ditentukan maka disarankan untuk ditunda di keesokan harinya ataupun di lain waktu.

Melebihi Kuota

Pulau Komodo
Pulau Komodo di NTT. (dok.Instagram @wisatapulaukomodo/https://www.instagram.com/p/BiPQVatgmIS/Henry

Untuk menjaga kelestarian maupun kebersihan kawasan TNKS sebagai lokasi kunjungan wisata, mereka sudah membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) bagi wisatawan di dalam kawasan TNKS. Tujuannya untuk keselamatan, kenyamanan bagi pengunjung dan menjaga ketertiban pendaki serta menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem.“Didalam SOP juga memuat ketentuan-ketentuan tentang kewajiban, larangan dan sanksi bagi pengunjung,” terang Nurhamidi.

“Mengenai membangun fasilitas tambahan di tempat wisata konservasi lebih sulit, saya kurang tahu, yang jelas untuk pembangunan sarana dan prasarana wisata alam dikawasan hutan harus berdasarkan beberapa prinsip. Ada Prinsip Konservasi, Prinsip Partisipasi, Prinsip Edukasi dan Rekreasi, Prinsip Ekonomi dan Prinsip Kendali

“Pembangunan sarana dan prasarana harus berfungsi untuk mengendalikan dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan wisata alam pada kawasan hutan,” pungkas Nurhamidi.

Mengenai unsur keberlanjutan, Rizki Handayani dari Kemenparekraf menambahkan, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2025,  pemerintah tengah mengupayakan Indonesia menjadi destinasi wisata pilihan di Asia Tenggara dengan konsep quality and sustainable tourism, sedangkan dalam jangka panjang 2030 pariwisata Indonesia sudah dapat menjadi World-Class Integrated and Sustainable Tourism Growth Destination.

"Kemenparekraf telah merilis panduan tentang destinasi pariwisata berkelanjutan di Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan," jelas Rizki.

Di dalamnya menjelaskan bahwa pariwisata berkelanjutan memperhitungkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat setempat. Selain itu, kemenparekraf juga tengah menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Ekowisata Indonesia yang bertujuan untuk merealisasikan program aksi yang dapat mendorong kolaborasi dan integrasi para pihak dan antarsektor terkait untuk peningkatan kualitas destinasi dan kualitas pelayanan.

Penyusunan RAN ekowisata ini menjadi kerangka pengembangan ekowisata dan portofolio pariwisata Indonesia, serta meningkatkan kunjungan wisman/wisnus dengan pendekatan aktivitas di destinasi ekowisata. "Di dalam satu destinasi ekowisata tersebut di antaranya merupakan kombinasi dari beberapa produk ekowisata berbasis sungai, hutan, bahari dan gunung, serta dengan memerhatikan skala berkesinambungan. Diharapkan pula ekowisata dapat menambah nilai kontribusi dalam upaya percepatan pemulihan pariwisata paska pandemi sesuai penerapan Sustainable Development Goals (SDGs)," punkas Rizki.

Infografis Taman Nasional di Indonesia yang Termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO
Infografis Taman Nasional di Indonesia yang Termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya