Fenomena Turis Asing Jadi Pengemis Kembali Bikin Gerah Warga Malaysia

Dengan dibukanya perbatasan, warga Malaysia kembali mendapati turis asing jadi pengemis alias begpacker di negara mereka.

oleh Asnida Riani diperbarui 24 Jan 2023, 07:30 WIB
Diterbitkan 24 Jan 2023, 07:30 WIB
Turis
Turis mengemis di Bukit Bintang, Malaysia. (dok. Twitter @HolyCannoli09/https://twitter.com/HolyCannoli09/status/1615246381454856200)

Liputan6.com, Jakarta - Seperti banyak negara lain di Asia Tenggara, Malaysia juga tidak terkecuali dari fenomena turis asing jadi pengemis alias begpacker sebelum pandemi COVID-19. "Wisatawan dunia" ini sering meminta uang pada warga lokal untuk membeli tiket pesawat, makanan, maupun kebutuhan lain.

Sempat tidak terlihat dalam dua tahun terakhir akibat tutupnya perbatasan, para begpacker dilaporkan telah kembali dan menandai wilayah mereka di jalan-jalan Bukit Bintang, Malaysia, dikutip dari Says, Senin (23/1/2023). Setelah melihat kembalinya para begpacker ini, seorang warga Malaysia mengungkap ketidaksenangannya di Twitter, baru-baru ini.

Pengguna Twitter itu melampirkan foto dua pelancong dan mengatakan bahwa mereka sedang duduk di jalanan Bukit Bintang. Dalam foto yang dibagikan, kedua turis itu terlihat menutupi diri mereka dari terik matahari dengan payung.

Mereka juga meletakkan sebuah kotak dan sebuah tanda di depan mereka, yang bertuliskan, "Uang untuk membeli makanan dan penerbangan pulang." Tidak senang dengan apa yang dilihatnya, pengguna tersebut mencuit bahwa ia tidak nyaman dengan kehadiran para begpacker.

"Saya tidak nyaman dengan fakta bahwa mereka mengambil keuntungan dari kami ketika mereka mampu membiayai perjalanan itu," tulisnya. "Tolong jangan mengolok-olok para tunawisma yang sebenarnya. Negara ini sudah berjuang dengan krisis pengungsi (xenofobia dan lain-lain), jadi jangan memperburuknya."

Cuitannya jadi viral, dengan banyak warga Malaysia lain mengaku "gerah" dengan kehadiran dua wisatawan asing tersebut. Seorang pengguna berkomentar bahwa mereka telah melihat pasangan itu duduk di depan Grand Millennium Hotel selama beberapa waktu.

 

Minta Ditangkap

Turis
Turis mengemis di Bukit Bintang, Malaysia. (dok. Twitter @HolyCannoli09/https://twitter.com/HolyCannoli09/status/1615246381454856200)

Para pengguna menyebut bahwa dua begpacker ini sebelumnya meminta uang untuk membeli makanan dan minuman. Beberapa saat kemudian, mereka beralih mengemis untuk membeli makanan dan tiket pesawat pulang. Pengguna tersebut juga melampirkan foto kedua pelacong saat duduk di jalanan.

Pengguna lain mengklaim telah melihat pasangan itu bermain dengan ponsel mereka di tempat yang sama pada 6 Januari 2023. "Mengapa mereka tidak bisa menghubungi keluarga mereka dari luar negeri untuk meminta bantuan?" seorang pengguna bertanya.

"Kalau kami jalan-jalan ke Indonesia, mereka akan minta (bukti pemesanan) tiket pulang kami. Bagaimana bisa orang asing masuk perbatasan kami tanpa menunjukkan tiket pulangnya?" pengguna lain membandingkan.

Sementara itu, seorang pengguna menyarankan agar pihak berwenang menangkap para begpacker. "Mereka sangat pintar berjalan ke sana ke mari, tapi tidak tahu bagaimana menemukan kedutaan negara mereka," tulis seorang warganet, sementara yang lain berkomentar, "Jika Anda tidak punya uang, tetaplah di negara Anda dan diam."

Mencegah Begpacking

30 Ribu Turis per Hari Diprediksi Kunjungi Bali Selama Libur Nataru, Menparekraf Larang Berkerumun
Ilustrasi Bandara Ngurah Rai Bali. (dok. Biro Komunikasi Publik Kemenparekraf)

Says kemudian menyoroti bagaimana jadi begpacker adalah ilegal di Indonesia. Pada 2019, imigrasi Bali menyebut bahwa pihaknya akan mengirim semua orang asing yang ketahuan mengemis untuk membiayai perjalanan mereka ke kedutaan negara masing-masing.

Sebelum itu, Thailand juga sempat mengambil langkah mencegah munculnya para begpacker, dikutip dari Independent. Pada 2018, wisatawan yang memasuki wilayah Negeri Gajah Putih diminta menunjukkan bahwa mereka memiliki uang tunai 20 ribu baht (sekitar Rp8,6 juta dalam konversi saat itu).

Atas berlakunya aturan tersebut, petugas imigrasi di beberapa pos pemeriksaan perbatasan Thailand tidak akan mengizinkan para wisatawan yang tidak bisa menunjukkan kepemilikan sejumlah uang tersebut untuk masuk wilayah mereka.

Bahkan, pemegang visa pendidikan atau mereka yang berada di Thailand dalam rangka studi juga tidak luput dari pemeriksaan ekstra. Para penumpang diinterogasi untuk mengetahui motif mereka memasuki wilayah Thailand. Merujuk situs web Thai Visa, orang yang memasuki Thailand dengan visa turis harus dapat menunjukkan bahwa mereka mampu mendukung diri sendiri secara finansial selama masa tinggal di negara itu.

Topik Debat

Lebih dari 150 Turis Asing Menghilang Usai Masuk Korea Lewat Program Bebas Visa
Ilustrasi paspor turis asing. (dok. ConvertKit/Unsplash)

Fenomena begpacker juga sempat jadi topik debat BBC World News Today pada 7 Februari 2019. Saat itu, presenter Philippa Thomas bertanya pada produser SAYS Video Nandini Balakrishnan terkait topik tersebut.

Menyusul video YouTube-nya yang viral tentang begpacking, Nandini berpendapat bahwa konsep turis Barat mengemis uang saat bepergian keliling Asia Tenggara adalah "konyol."

"Saya tinggal di negara yang dikelilingi orang-orang yang harus bekerja sangat keras, bahkan untuk mampu pergi ke tempat wisata lokal. Orang-orang ini datang dari negara dengan ekonomi yang jauh lebih baik dan daya beli lebih tinggi, lalu mengemis untuk membiayai perjalanan mereka," jelasnya.

"Fakta bahwa bepergian adalah sebuah kemewahan telah luput dari perhatian mereka," tambah Nandini.

Menurut Helen Coffey, Deputy Head of Travel of The Independent, konteks di balik begpacking untuk setiap wisatawan harus dipertimbangkan. Menyadari anggapan begpacking adalah "setiap orang yang melakukannya benar-benar istimewa," Coffey berpendapat bahwa ada kasus luar biasa.

"Seseorang yang mungkin tidak punya banyak uang mungkin juga sangat ingin merasakan budaya lain di dunia," katanya.

Sebagai tanggapan, Nandini menunjukkan bahwa turis Barat yang dapat berkeliling dunia adalah "keistimewaan yang kebanyakan orang di sini tidak akan pernah mampu membelinya."

"Itu salah, tidak etis, dan tidak masuk akal," katanya. "Anda ingin melihat dunia? Anda harus bekerja untuk itu."

Infografis Risiko Bencana di Daerah Wisata
Infografis Risiko Bencana di Daerah Wisata. (Dok: Liputan6.com)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya