Liputan6.com, Jakarta - Berbicara primadona wisata di kaki Gunung Lawu tentu tidak pernah lepas dari Tawangmangu. Tidak hanya lanskap alamnya yang bisa dinikmati, jika wilayah di Jawa Tengah ini masuk dalam daftar destinasi wisata Anda selama mudik Lebaran Idul Fitri, jangan sampai lewatkan kesempatan mengenal jamu dan tanaman herbal dengan lebih dekat.
Melansir laman Kabar BUMN, Rabu (19/4/2023), Tawangmangu terpilih sebagai salah satu destinasi wisata herbal di Indonesia. Penetapannya tidak lepas dari adanya pusat kesehatan herbal milik Kementerian Kesehatan di wilayah tersebut.
Tawangmangu juga memiliki program saintifikasi jamu dengan mengedepankan pengobatan tradisional yang teruji secara ilmiah. Jadi, setiap obat-obatan herbal di Tawangmangu telah diuji keamanan, mutu, dan khasiatnya untuk kemudian dikonsumsi.
Advertisement
Di sisi lain, Tawangmangu memiliki tempat wisata yang menawarkan edukasi tentang tanaman herbal, seperti Rumah Kaca Adaptasi dan Pelestarian Tanaman Obat, Rumah Riset Jamu Hortus Medicus, dan Rumah Atsiri Indonesia. Tercatat ada sekitar 800 jenis tanaman herbal yang dibudidayakan di Tawangmangu.
Beberapa di antaranya adalah kunyit sebagai obat herbal alami yang dapat mengobati penyakit maag, seledri untuk mengobati hipertensi atau tekanan darah tinggi, serta daun jambu untuk mengatasi diare. Juga, terdapat sambiloto untuk mencegah diabetes, tempuyung untuk melancarkan air seni, dan daun handeuleum untuk mengatasi wasir.
Setiap wisatawan yang berkunjung ke Tawangmangu diharapkan tidak hanya mengenal berbagai jenis-jenis tanaman herbal, namun juga berkesempatan mengenali sejarah jamu dan tradisi herbal Jawa.
Tempat Nongkrong Sehat
Masih di Jawa Tengah, Solo juga punya tempat nongkrong sehat, yakni Pasar Jamu Nguter. Melansir laman Wonderful Solo, 13 April 2023, pasar ini diresmikan pada 1 April 2015. Meski tidak hanya menjual jamu, dengan banyak juga penjual jajanan pasar nan khas, pasar ini jadi simbol keunikan sejarah jamu di Nguter, sebuah kecamatan di Kabupaten Sukoharjo, yang berjarak sekitar 10 km dari pusat kota Solo.
Disebut bahwa Nguter memiliki sekitar seribu orang yang berprofesi sebagai penjual jamu gendong. Desa Nguter memiliki potensi jamu rumahan yang besar, selain terdapat lima pabrik jamu di wilayah tersebut.
Beragam merek jamu rumahan dengan kode usaha departemen kesehatan dan industri kecil banyak ditawarkan. Melihat ini, pemerintah Kabupaten Sukoharjo membuatkan pasar untuk menampung para pedagang jamu. Lokasinya berada di Jalan Raya Solo-Wonogiri, Pasar Nguter, Sukoharjo.
Pembaruan Pasar Nguter dimulai pada Agustus 2013 dengan dana Rp13,4 miliar. Berdasarkan data dari kantor Lurah Pasar Jamu Nguter, zona jamu mendominasi unit kios dan los di Pasar Nguter.
Advertisement
Zona Jamu di Pasar Nguter
Untuk kios, zona jamu memiliki 55 unit di lantai atas dan bawah. Lalu, zona jamu di bagian los pasar ada 119 unit di lantai atas maupun bawah. Pasar ini juga ditempati para pedagang non-jamu seperti pedagang sembako, buah-buahan, warung makan, dan pakaian.
Namun, mayoritas pedagang Pasar Jamu Nguter adalah penjaja jamu. Ini termasuk tujuh produk jamu racikan yang diproduksi CV WJKW, yaitu Gujati, Sabdo Palon, Bisma, Anoman, Puntodewo, dan Narodo.
Eksistensi jamu di Sukoharjo sendiri telah mencatat sejarah panjang. Ini tidak lepas dari sosok wanita bernama Yoso Hartono asal Purwodadi yang tinggal di Solo pada 1932. Ia menjual jamu di Pasar Nguter.
Awalnya ia merugi, namun setelah memutuskan pindah, ia mencoba menjual jamu beras kencur, kunir asem, jamu pahitan, dan jamu hasil olahan yang siap diminum. Jejak sukses Yoso diikuti pedagang lain. Selain jamu godokan, jamu kemudian berkembang jadi jamu racikan yang telah dibungkus.
Menjual Jamu Secara Tradisional
Kendati demikian, jamu saat itu tetap dijual secara tradisional dengan berkeliling membawa jamu godokan menggunakan tempat khusus berupa tenggok yang digendong di punggung. Para pedagang jamu ini melakukan inovasi dengan membuat resep dengan merek sendiri-sendiri walau khasiatnya sama.
Seiring waktu, industri jamu di Nguter mengalami pertumbuhan. Salah satu penanda pertumbuhan industri jamu di Nguter adalah munculnya koperasi jamu Indonesia (KOJAI) yang diketuai Murtejo.
Ide pembentukan KOJAI dimunculkan salah satu anak Yoso Hartono, Eko Cahyono, dan mendapat dukungan penuh dari Lurah Desa Nguter, Paimo, dan Camat Nguter, Haryanto. Selain Eko, sejumlah anak Yoso juga jadi penanda kesuksesan industri jamu di Nguter.
Di antaranya adalah Yulianingsih (Cik Nelly) yang bersama suaminya, Slamet Riyadi, mendirikan perusahaan pengolahan jamu yang bernama CV. Wisnu Joglo Kresna Wisnu (WJKW) yang berada di sisi timur Pasar Nguter.
Yoso akhirnya dikenal sebagai pionir industri jamu, khususnya jamu racikan (godokan), di Nguter. Pada 1983, ia meninggal dunia dan pengelolaan industri jamunya diteruskan anak-anaknya.
Advertisement