Liputan6.com, Jakarta - Persoalan sampah di Indonesia masih jauh dari kata usai. Banyak permasalahan seputar sampah yang harus ditangani. Ironisnya, dana pengelolaan sampah di daerah minim. Besarannya rata-rata hanya 0,51 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di tiap daerah.
Hal itu dikatakan Kepala Subdirektorat Tata Laksana Produsen, Direktorat Pengurangan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ujang Solihin Sidik dalam diskusi di ajang Festival Peduli Sampah Nasional (FPSN) 2023, yang digelar secara hybrid pada Kamis, 15 Juni 2023, di di auditorium Manggala Wanabakti, KLHK, Jakarta Pusat.
Baca Juga
Pria yang akrab disapa Uso itu menyatakan kurang lebih ada 30 persen sampah di daerah yang tak terkelola. "Artinya tersebar ke mana-mana dan tak terkelola dengan baik," katanya.
Advertisement
Pria yang akrab disapa Uso ini mengungkap anggaran pengelolaan sampah di 514 kabupaten/kota di pemerintahan daerah rata-rata hanya 0,51 persen dari total APBD. "Ini sangat kecil. Padahal dari angka 3-4 persen saja dari total APBD itu cukup memadai untuk mengurusi sampah. Jadi ini tantangan terbesar bagaimana meningkatkan alokasi anggaran di kabupaten/kota yang jumlahnya 514," ujarnya.
Terlepas dari minimnya anggaran, Uso menyebut pentingnya komitmen pemerintah daerah untuk mengelola sampah. Ada pemerintah daerah yang nilai anggarannya tinggi, tapi itu sangat bergantung dengan komitmen kepala daerahnya. "Kalau komitmennya tinggi, maka alokasi anggaran pengelolaan sampah itu relatif memadai daripada rata-rata," ujarnya.
Pedoman Penanganan Sampah
KLHK terus mendorong sejumlah instrumen agar kinerja pemda lebih baik, seperti pemberian penghargaan Adipura, instrumen pengawasan, hingga pemberian subsidi dan bantuan sarana prasarana agar kinerja pemda semakin baik. Uso juga menyebut pentingnya aspek rekayasa sosial untuk mengoptimalkan pengelolaan sampah.
Sekitar 60 persen keberhasilan pengelolaan sampah berasal dari aspek rekayasa sosial ini, bahkan lebih penting daripada rekayasa yang sifatnya teknologi. "Itulah kenapa rekayasa sosial dengan melibatkan peneliti, akademisi, pemerintah daerah, hingga kolaborasi bersama komunitas peduli lingkungan dan organisasi agama itu penting," terangnya.
Cara lain yang bisa ditempuh menurut Uso adalah menggandeng pelaku industri wisata, terutama karena pariwisata yang mulai bangkit kembali dan semakin banyaknya event yang digelar setelah pandemi berlalu. Dalam hal ini, bisa meminta para penyelenggara event di destinasi wisata untuk benar-benar memperhatikan pengelolaan sampah yang timbul lantaran pelaksanaan event.
Uso mengatakan, pihaknya telah menerbitkan pedoman penanganan sampah terkait pelaksanaan sebuah event sehingga penyelenggara event harus bisa mematuhinya.
Advertisement
Ekonomi Sirkular dalam Pengelolaan Sampah
"Pengelolaan sampah di event baik indoor atau outdoor, pedomannya sudah ada. Ada tim atau unit khusus untuk penanganan sampah event, baik pre, doing, maupun after event. Kalau event organizer besar sudah tersosialisasi terkait pedoman ini. Semoga bisa dipakai untuk semua event," jelasnya.
Ditambah lagi, lanjutnya, saat ini Indonesia tengah menuju ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah. Karena itu, pihaknya akan terus menyosialisasikan Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.75/2019, khususnya tentang pengurangan sampah oleh produsen, termasuk ke industri pariwisata.
Analisis Kebijakan Ahli Madya Kemenparekraf, Muh.Nurdin, menambahkan, pengelolaan sampah pada sebuah event biasanya bekerja sama dengan bank-bank sampah setempat untuk mengatasi sampah yang dihasilkan selama penyelenggaraan event. Ia mengambil contoh pada penyelenggaraan Moto GP di Mandalika, Lombok, pada 2022.
Penanganan sampah pada event yang diikoordinasikan oleh Kemenko Marves itu melibatkan Bank Sampah setempat. "Setelah selesai acara, sampah bersih dan terpilah. Ini perlu sosialisasi bagaimana pengelolaan sampah setelah event," kata Nurdin.
Sampah di Destinasi Wisata
Nurdin menyebut komitmen itu tidak akan sulit dilakukan, mengingat Kemenparekraf dan KLHK telah menyusun petunjuk teknis. Mereka juga mendampingi pengelolaan sampah, di tujuh destinasi wisata, yakni Danau Toba, Borobudur, Banyuwangi, Bali, Lombok, Labuan Bajo, dan Likupang.
Pembicara lain, Packaging Circularity Senior Manager Danone Indonesia, Jeffri Ricardo, menyatakan, penanganan sampah di destinasi wisata harus mendapat perhatian semua pihak. Caranya dengan menyediakan infrastruktur, mengedukasi pelaku usaha dan masyarakat setempat. "Penghasil sampah di destinasi wisata itu salah satunya turis. Data menyebutkan, turis membawa 3,5 kilogram sampah per kapita," ungkap Jeffri.
Danone Indonesia, sudah dan sedang menggulirkan program untuk menangani sampah yakni Bijak berplastik. Langkah nyata dalam program itu antara lain mendesain kemasan produk yang ramah lingkungan, membuat inisiatif daur ulang sampah, kolaborasi dengan mitra bisnis untuk praktek berkelanjutan, dan mengedukasi masyarakat.
Di Bali misalnya, mereka memperkenalkan kemasan cube dengan label emboss, yang mudah didaur ulang, menggunakan botol kaca, juga menggunakan kemasan 100 persen botol plastik daur ulang.
Advertisement