Buku Batik Durian Dirilis, Merekam Perjalanan Ikon Kota Lubuklinggau hingga Bisa Eksis di Milan Fashion Week

Masih sedikit buku tentang batik yang beredar di pasaran, padahal itu merupakan dokumen penting untuk merekam serba-serbi batik Indonesia, termasuk batik durian Lubuklinggau.

oleh Winda Syifa Sahira diperbarui 16 Okt 2023, 15:30 WIB
Diterbitkan 16 Okt 2023, 15:30 WIB
Peluncuran Buku Batik Durian di Gramedia Matraman, Minggu 10 Oktober 2023
Peluncuran Buku Batik Durian di Gramedia Matraman, Minggu 10 Oktober 2023. (Liputan6.com/Winda Syifa Sahira)

Liputan6.com, Jakarta - Buku Batik Durian Lubuklinggau resmi diluncurkan. Buku tersebut menceritakan tentang perjalanan batik durian, yaitu batik yang berasal dari kota Lubuklinggau, daerah paling barat di Sumatera Selatan, mewakili Indonesia di ajang fesyen internasional, Milan Fashion Week, pada 2021 dan 2022.

Rai Rahman Indra, penulis buku tersebut, menerangkan ada dua faktor yang membuat batik durian menarik untuk diulas. Pertama adalah Lubuklinggau bukanlah daerah penghasil batik, dan kedua, batik itu tampil di Milan Fashion Week. 

Di sisi lain, ia menilai catatan tertulis soal batik terbilang masih sedikit sehingga informasi yang dibutuhkan tidaklah cukup. "Literasi batik kita itu sedikit sekali, sementara di 2009 UNESCO telah menetapkan batik Indonesia sebagai warisan budaya takbenda. Tapi, kalau kita cari buku soal batik itu tidak banyak," jelas Rai saat ditemui di Konferensi Pers dan Peluncuran Buku Batik Durian Lubuklinggau, Jakarta Timur, Minggu, 15 Oktober 2023.

Rai berharap lewat peluncuran buku tersebut, dapat menambah literasi soal batik Indonesia. "Saya menganggap bahwa nanti batik durian adalah pintu gerbang yang membuka mata setiap daerah untuk kemudian menggali lagi karya dari daerah-daerahnya untuk dituliskan, sehingga kita punya literasi batik di setiap daerah," tutur Rai.

Dalam proses pembuatan bukunya, ia mengaku kendala utamanya adalah tidak banyak dokumentasi yang baik soal batik durian. "Kita tidak biasa mendokumentasikan sesuatu, sebuah karya mungkin hilang begitu saja karena tidak ada dokumentasi yang baik," jelasnya.

Kurangnya Literasi tentang Budaya Indonesia

Macam-macam motif batik durian
Macam-macam motif batik durian Lubuklinggau. (Dok.Liputan6.com/Winda Syifa Sahira)

Dalam kesempatan yang sama, editor senior Kepustakaan Populer Gramedia, Candra Gautama mengatakan literasi soal budaya Indonesia masih sedikit. Ia menyebutkan, pameran gamelan dan keris di Solo, Jawa Tengah, sebagai contoh. Benda pamernya banyak, tetapi catatan terkait jumlah mpu yang ada di kota tersebut tak ditemukan. 

Kurangnya kesadaran literasi juga terjadi pada buku batik. Ia mengambil contoh buku tentang batik betawi dan batik garut justru diinisiasi oleh kolektor batik. Sementara, ia menilai pemerintah terkesan kurang mempedulikan budaya daerah. 

"Artinya apa? Pemerintah garut dan DKI tidak menganggap penting," jelasnya.

Ia menyebutkan bahwa dengan minimnya kesadaran tentang budaya, masyarakat Indonesia perlu merrefleksi diri tentang rasa kepedulian soal budaya yang dimiliki."Benarkah sebenarnya kita itu memiliki perhatian lebih terhadap apa yang kita miliki?" ucap Candra.

Ia berharap dengan diluncurkannya buku Batik Durian Lubuklinggau ini, dapat menjadi salah satu bentuk dokumentasi dan literasi kebudayaan Indonesia. "Entah kapan, buku ini menjadi penting sebagai dokumen," katanya.

Batik Durian Lubuk Linggau

Yetti Oktarina Prana, Penggagas Batik Durian Lubuklinggau
Yetti Oktarina Prana, Penggagas Batik Durian Lubuklinggau (Dok.Liputan6.com/Winda Syifa Sahira)

Yetti Oktarina Prana, penggagas batik durian yang juga sebagai Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Lubuklinggau, serta Dekranasda Lubuklinggau menjelaskan bahwa tujuan batik durian dibuat adalah untuk menjadi ikon dari kota tersebut

"Lubuklinggau baru dimekarkan pada tahun 2001, jadi tidak memiliki ciri khas khusus. Menurut saya, sebuah kota atau kabupaten harus punya sesuatu, ciri khas yang menjadi kebanggaan atau identitas," jelasnya. "Saya ingin kota Lubuklinggau juga punya seperti itu," tambahnya.

Rina mengaku sempat kebingungan dari mana harus memulai penciptaan sebuah batik, karena Lubuklinggau tidak memiliki sejarah batik ataupun pengrajin batik sama sekali. Berbekal kain koleksi pribadi dan koleksi yang dimiliki oleh orangtuanya, serta mencari batik dari daerah lainnya, ia mempelajari tentang kain-kain tersebut.

Dalam pembuatan motifnya, ia menyebutkan bahwa tidak ingin batik durian terperangkap pada sebuah filosofi khusus. Menurutnya, karena Lubuklinggau adalah sebuah kota baru, batik durian dapat pula menjadi sebuah kain yang baru, tanpa harus terbebani filosofi khusus. 

Meski begitu, motif batik itu bukan tanpa makna. Ia menyebutkan bahwa durian pada motif tersebut berarti "sesuatu yang terlihat keras, bisa jadi di dalamnya lembut dan manis sekali." 

Koleksi Batik Durian Lubuklinggau

Koleksi Batik Durian Lubuklinggau
Koleksi Batik Durian Lubuklinggau (Dok.Liputan6.com/Winda Syifa Sahira)

Setelah desain didapatkan, tantangan berikutnya adalah mencari perajin. Setelah tantangan pertama diatasi, berikutnya adalah menentukan proses pembuatan. Ia memilih menggunakan banyak pewarna alami, seperti jengkol, pinang, daun mangga, daun jambu, tingi, ataupun tanah. Sementara warna yang lebih cerah, ia menggunakan pewarna sintetis yang ramah lingkungan yaitu remasol.

Saat ini, batik durian memiliki lima sentra batik dengan total anggotanya mencapai 70 orang. Untuk penghasilan para pengrajin, terdapat beberapa skema yang disepakati oleh tiap sentra, yaitu ada yang diupah per lembar kain, dan ibu rumah tangga yang bekerja dari pukul 10 pagi sampai 3 sore. Rina menyebutkan untuk ibu-ibu rumah tangga mendapatkan upah Rp600 ribu sampai Rp1,5 juta per bulan.

Tiap bulannya diproduksi sekitar 350--500 lembar kain batik durian. Ia berharap produksinya bisa ditingkatkan hingga 1000 lembar kain per hari. Rina juga menyebutkan bahwa saat ini batik durian sudah memproduksi sekitar 100 variasi motif.

Batik durian dijual dengan harga Rp250 ribu untuk kualitas biasa dengan ukuran lebar 2 meter, sedangkan dengan bahan  sutra dipatok sekitar Rp2,5 juta dengan ukuran lebar 3 meter, yang diperuntukkan hanya untuk koleksi. Koleksi tersebut saat ini bisa dibeli saat pameran, dan belum tersedia secara online karena produksinya yang masih sedikit.

Infografis Sentra Batik di berbagai daerah di Indonesia
Infografis Sentra Batik di berbagai daerah di Indonesia. (Dok: Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya