Liputan6.com, Jakarta - "Kita sudah tidak punya kemewahan waktu untuk menunda aksi iklim," begitu bunyi pesan lugas dari Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, saat membuka pameran "Kedai Kita" di bilangan Jakarta Pusat, Jumat, 1 Desember 2023.
Senada dengan desakan itu, pihaknya bersama jenama tekstil lokal Sejauh Mata Memandang berupaya membangun kesadaran bahwa dampak krisis iklim "sangat dekat" dengan keseharian publik. Kali ini, mereka memilih memperlihatkan bagaimana perubahan suhu ekstrem mengancam ketersediaan pangan.
Baca Juga
Ya, dijabarkan bahwa krisis iklim telah berdampak serius terhadap hasil panen di beberapa daerah di Indonesia. Kondisi yang membutuhkan solusi sesegera mungkin ini tercatat jadi biang kerok kegagalan panen yang dialami para petani dan petambak.
Advertisement
"Mulai dari kopi di Banjarnegara, beras di Gunungkidul, ikan bandeng di Gresik, hingga pala dan cengkih di Maluku, bahan-bahan pangan ini berada di ambang kepunahan, mengancam kenikmatan makanan sehari-hari kita," beber Adila."(Dampak) krisis iklim ada di meja makan kita."
Pendiri dan direktur kreatif Sejauh Mata Memandang, Chitra Subyakto, mengatakan, "Kami melihat pentingnya berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam berkontribusi menyelesaikan krisis iklim. Saya sendiri gemas karena isu ini (krisis pangan akibat perubahan iklim) belum diketahui banyak pihak."
Menurutnya, warga urban "belum tahu apa yang terjadi," karena bahan pangan masih tersedia dengan cukup mudah, walau harganya bisa saja lebih mahal. "Mungkin ada yang tidak tahu jika krisis iklim dibiarkan, kita hanya bisa minum kopi arabika dengan kualitas baik hanya dalam 10 tahun ke depan," ujar dia.
Â
3 Area Utama di Pameran
Ada tiga area utama yang bisa dikunjungi di pameran "Kedai Kita," yakni Kopi Tinggal Kenangan, Warung Nasib Kita di Masa Depan (WarNas), dan Warung Sejauh Mata Memandang yang dirancang keluarga Sejauh, Felix Tjahyadi.
Kopi Tinggal Kenangan
Kopi disebut sebagai tanaman yang sangat rentan terhadap krisis iklim. Penurunan kualitas maupun kuantitas biji kopi telah dialami petani kopi di berbagai wilayah di dalam negeri, termasuk Banjarnegara, akibat cuaca ekstrem.
"Curah hujan di Banjarnegara tinggi sekali jadi petani kopi tidak bisa menjemur biji kopi yang sudah mereka panen," beber Adila. "Beberapa juga mengaku dikomplain pelanggan karena kualitas biji kopinya tidak sebagus dulu. Petaninya bingung, karena bibitnya sama, pupuknya juga tetap organik, semua sama."
"Kami bersama komunitas petani kopi, yang didominasi perempuan, berdiskusi dan menghadirkan alat bertenaga surya, supaya mereka bisa memproses biji kopi, tapi tidak menyumbang emisi karbon," imbuhnya.
Di area Kopi Tinggal Kenangan, pengunjung dapat mencicipi cita rasa kopi yang saat ini terancam dan hanya akan jadi kenangan akibat krisis iklim.
Â
Advertisement
Warung Nasib Kita di Masa Depan
Eksistensi ragam pangan yang biasa dikonsumsi sehari-hari, termasuk beras, sayur mayur, ikan, buah, serta bumbu dapur, seperti cabai, garam, dan rempah juga terancam krisis iklim. Para petani disebut kesulitan memprediksi masa tanam akibat anomali cuaca, juga kewalahan menghadapi hama dan penyakit tanaman.
Melalui WarNas, pengunjung dapat melihat berbagai informasi tentang bahan makanan yang terancam punah dan cerita dari para petani yang terdampak.
Warung Sejauh Mata Memandang
Sejauh Mata Memandang turut menghadirkan toko pop-up yang dirancang menyerupai warung. Sahabat Sejauh, sebutan pelanggannya, dapat melihat dan berbelanja berbagai koleksi pakaian hingga pernak-pernik unik hasil daur naik kain-kain perca motif khas SMM.
Bangunan "warung" diklaim menggunakan 90 persen material guna ulang, seperti panel kayu bangunan dari kegiatan SMM sebelumnya, serta kain perca dari sisa produksi SMM yang didaur naik guna memberi sentuhan rancangan yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.
"Kedai Kita" merupakan bagian dari rangkaian acara "Berhenti Basa Basi Buat Bumi" yang merupakan desakan pada pemerintah agar mengambil tindakan nyata terkait krisis iklim. "Semoga dengan semakin banyak orang yang sadar, kita jadi semakin berisik, dan akhirnya pemerintah takut karena orang-orang sudah tahu," sebut Chitra.
Berhenti Basa Basi Buat Bumi
Pameran "Kedai Kita" dianggap sebagai pendekatan baru bagi Greenpeace Indonesia dalam membangun kesadaran akan dampak krisis iklim. "Kami biasanya aksi, tapi sekarang mengangkat isu rumit (krisis iklim) dengan balutan seni dan pameran yang semoga dengan itu bisa menjangkau audiens lebih luas," harap Adila.
Pameran Kedai Kita masih bisa disambangi di lantai basement Plaza Indonesia Jakarta hingga 10 Desember 2023. Namun, khusus untuk Warung Sejauh Mata Memandang, itu akan beroperasi sampai 11 Januari 2024.
Selain pameran "Kedai Kita," kolaborasi Sejauh Mata Memandang dan Greenpeace Indonesia juga turut menghadirkan acara "Berhenti Basa Basi Buat Bumi" di KALA di Kalijaga, Blok M, Jakarta Selatan pada 6--10 Desember 2023.
Rangkaiannya menghadirkan pameran foto dampak krisis iklim terhadap pangan, experience room, dan berbagai aktivitas menarik lain. Terselenggara secara gratis, pengunjung hanya diminta mendaftar di act.gp/ikutan-b5.
"Berhenti Basa Basi Buat Bumi" sendiri diinsiasi sejalan dengan konferensi iklim tahunan global COP 28 di Dubai, di mana para pemimpin dunia berkumpul membahas upaya penyelamatan Bumi dari krisis iklim. Namun, aksi yang ditempuh dianggap belum efektif dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengendalikan kenaikan suhu global, sehingga terkesan hanya "basa-basi buat Bumi."
Â
Advertisement