Liputan6.com, Jakarta - Prinsip berkelanjutan dan ramah lingkungabn sedang gencar dilaksanakan oleh berbagai industri, salah satunya dalam industri fesyen. Hal tersebut juga dilakukan oleh seorang desainer yaitu Adrie Basuki. Ia mengedepankan busana zero waste serta memberdayakan para wanita dalam membuat koleksinya.
Desainer tersebut mengaku, bahwa pada awalnya, ia memproduksi busana dengan bahan kain tenun. Namun, ia melihat bahwa saat pembuatan pola, banyak sekali bahan-bahan yang terbuang. Lalu, ia berpikir untuk memanfaatkan sisa kain tersebut agar dapat digunakan kembali.
Adrie juga menjelaskan, bahwa inspirasinya mengolah limbah menjadi busana, bukan datang dari industri fesyen namun dari pemanfaatan limbah plastik. "Jadi saat lihat limbah plastik, plastik itu kan lebih keras secara material, terus aku pikir ini mestinya bisa kalau buat kain. Akhirnya, itu yang pertama, dari situ kita mencoba mengolah sisa kain itu dengan teknik cacah," ungkapnya saat ditemui di Press Conference Kalea Charity Bazaar, Jakarta Selatan, Minggu, 10 Desember 2023.
Advertisement
Mulai 2018, Adrie berkolaborasi dengan ibu-ibu dari Kampung Perca, Bogor. Para ibu, yang tergabung dalam perkumpulan itu memang biasa untuk mengolah kain-kain yang tidak terpakai. Setelah itu, kolaborasinya terus berkembang dan menghasilkan kain dengan berbagai macam bentuk.
Pada tahun itu, Adrie menjelaskan, bahwa awalnya ia menggunakan teknik patchwork. Namun, sebagai seorang desainer ia merasa tertantang untuk berkreasi dengan teknik lainnya.
"Akhirnya, sebagai seorang designer merasa tertantang, bikin versi model baru apa nih, akhirnya mulailah dengan kain cacah ini," jelas Adri.
Menghasilkan Kain Marmer
Cacahan kain tersebut menghasilkan jenis kain baru yang disebut dengan kain marmer. Kain itu dibuat dengan cara ditindis agar memiliki jangka pakai dalam waktu yang lama.
"Jadi kita bilang ini adalah kain marmer, kenapa? Karena kalau misalnya kita cacah kain, kemudian kita gabung kainnya, dan warnanya sama, dia akan kelihatan secara motif," paparnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga menjelaskan tahapan-tahapan dalam pembuatan kain tersebut. "Jadi, yang diambil memang temanya marmer. Itu karena setiap kali kita mencacah kain, kita pilih dulu sesuai bahannya kemudian warna. Lalu, warnanya dipilih-pilih dulu, dipisahkan sesuai warnanya," ungkapnya lagi.
"Setelah itu, kalau misalnya ada yang sama, kita mau bikin biru, minimum biasanya tiga warna, jadi biru tua, biru muda, putih, supaya bisa dapat efek itu," tambah Adrie.
Ia juga menjelaskan, bahwa akan melaksanakan workshop setiap bulannya di Kampung Perca. Namun, bukan hanya menggunakan kain daur ulang saja, bahannya adalah campuran dari kain biasa yang akan dikumpulkan hingga menumpuk, sebelum akhirnya dipisahkan.
Advertisement
Kesulitan Saat Membuat Kain Marmer
"Kemudian, kain cacah ini diatur lagi di dalam kain tule itu, kita biasanya juga pakai sisa benang. Jadi, benang-benang yang sudah tidak terpakai kita pakai lagi kemudian di-quilting ulang, dijahit lagi," tutur Adrie. Seiring berjalannya waktu, ia juga berkolaborasi dengan engineer dari Yogyakarta untuk membuat alat pencacah kain.
Ia juga mengungkapkan, hal-hal yang menjadi kesulitan saat membuat kain tersebut. Kesulitan pertama, adalah saat memilih jenis lem yang cocok pada busananya, karena ia harus menggunakan lem yang aman digunakan jika terkena kulit.
"Terus juga dia (lem) harus hilang kalau kena air, jadi aku kurang lebih enam sampai delapan bulan dulu mulai mencari, kira-kira lem apa sih yang aman, yang nyaman (untuk produknya)," imbuhnya.
Bukan hanya lem, kesulitan juga datang dari para ibu-ibu yang terkadang sibuk mengurus rumah tangga. "Lalu, kemudian kalau dari sisi para ibu-ibu, kita harus punya kesabaran. Karena ibu-ibu di Kampung Perca gak semuanya bekerja untuk kita, mereka juga punya tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga," jelas desainer itu.
Pemberdayaan Ibu-Ibu di Kampung Perca
Adrie menjelaskan, bahwa ibu-ibu dari Kampung Perca pada awalnya adalah korban dari pinjaman online (pinjol). Akibatnya, beberapa ibu harus terganggu secara finansial, menjual aset seperti rumah, dan bercerai.
Melalui kolaborasi ini, para ibu tersebut diberdayakan dengan diberi pelatihan dan belajar untuk memproduksi kain, yang juga digunakan dalam koleksi Adrie Basuki. "Jadi dulu itu, Kampung Perca mulainya dari konveksi yang sudah tidak terpakai gara-gara covid. Di lantai tiganya, jadi tempat kita buat ibu-ibu itu belajar menjahit, belajar membuat patchwork," jelas Adrie.
Setelah berbagai pelatihan, akhirnya Kampung Perca mulai dibangun pada 2021. "Jadi, kalau teman-teman datang ke Kampung Perca, Ibu-ibu itu sudah punya galeri, lantai tiganya yang tadinya angin, hujan, masuk. Akhirnya, banyak dari beberapa korporasi yang membantu disana,” ungkap Adrie. Selain itu, lokasi Kampung Perca kini sudah menjadi destinasi wisata di daerah Bogor.
"Tadinya, Kampung Perca hanya galeri, akhirnya mereka dibikin spot wisata dan didukung oleh pemerintah kota, mudah-mudahan bisa terus berjalan," tambah Adrie.
Setelah tergabung dalam Kampung Perca, para ibu-ibu tersebut mendapatkan penghasilan dan perbaikan secara ekonomi. "Tapi kalau bisa dibayangkan adalah dulu mereka itu semuanya rata-rata buruh cuci dan jualan. Sekarang, mereka lebih banyak bekerja di Kampung Perca," tutupnya.
Advertisement