Para Penggembala di Mongolia Terdampak Krisis Iklim yang Sebabkan Badai Musim Dingin Parah

Para penggembala di Mongolia menghadapi cuaca yang tidak dapat diprediksi. Seiring dengan semakin tidak menentunya iklim, mereka terpaksa bepergian semakin jauh untuk menangani kondisi ini.

oleh Putu Elmira diperbarui 25 Des 2023, 21:00 WIB
Diterbitkan 25 Des 2023, 21:00 WIB
Suhu dingin yang memecahkan rekor melanda China Bagian Utara
Kantor cuaca nasional mengatakan suhu di bawah nol derajat Celcius memecahkan rekor di lima stasiun di provinsi dan wilayah Shanxi, Hebei dan Mongolia Dalam pada Rabu dini hari. (STR / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Para penggembala di Mongolia menghadapi cuaca yang tidak dapat diprediksi. Seiring dengan semakin tidak menentunya iklim, mereka terpaksa bepergian semakin jauh untuk menangani kondisi ini.

Dikutip dari Business Insider, Minggu, 24 Desember 2023, penggembala nomaden merupakan sepertiga dari tiga juta orang di Mongolia. Namun, jumlah mereka berisiko menurun seiring dengan memburuknya cuaca dan semakin sulitnya lahan untuk merumput bagi hewan-hewan tersebut.

Suhu di Mongolia telah meningkat sebesar 2,2 derajat Celcius sejak 1940. Sebanyak 90 persen padang rumput di Mongolia terdampak penggurunan karena pengelolaan yang buruk dan perubahan iklim.

Para penggembala juga kehilangan ternaknya pada tingkat yang mengkhawatirkan. Per Maret 2023, mereka telah melaporkan kehilangan lebih dari 500.000 hewan secara nasional, menurut situs web United Nations Development Program.

Kerugian ini sangat menyedihkan bagi keluarga-keluarga yang menerima 80 persen pendapatan mereka dari menjual hewan dan produk hewani. Saat bepergian, mereka tinggal di tenda yang disebut "ger", yang diisolasi dengan kulit domba dan memiliki lubang di langit-langit untuk menghilangkan asap dari tungku mereka.

"Ger" dapat dengan mudah diatur, didekonstruksi, dan mengikuti keluarga kemanapun mereka bepergian. Pada 2020, Agvaantagtokh, seorang penggembala di Mongolia, dan keluarganya bepergian sejauh 750 mil (1.207 km)untuk mencari lahan yang lebih baik setelah kehilangan sebagian besar hewan mereka karena musim dingin yang sangat buruk.

Biasanya aliran sungai digunakan bersama oleh seluruh masyarakat sekitar dan satwanya. Biasanya, ada 10 hingga 15 komunitas di suatu wilayah dan kumpulan 4.000 hingga 5.000 hewan.

Kasus Serangan Beruang di Jepang Tembus Rekor di 2023, Ahli Sebut Efek Perubahan Iklim

Kasus Serangan Beruang di Jepang Tembus Rekor di 2023, Ahli Sebut Efek Perubahan Iklim
Ilustrasi beruang cokelat. (dok. Becca/Unsplash.com)

Di sisi lain, Kementerian Lingkungan Jepang menyebutkan jumlah serangan beruang pada 2023 meningkat. Dengan satu bulan tersisa di tahun ini, korban serangan beruang yang selamat sedikitnya mencapai 212 orang, enam lainnya meninggal dunia.

Angka itu jauh melampaui rekor sepanjang 2020 yang mencapai 158 orang. Jumlah serangan beruang tidak pernah melebihi 200 korban per tahun sejak pencatatan dimulai pada 2006.

Seishi Sato menjadi salah satu korban selamat usai disergap beruang saat berjalan-jalan ke hutan di Jepang utara yang berjarak hanya setengah jam berjalan kaki dari toko yang ia kelola, tempat ia menjual perlengkapan hewan peliharaan dan jamur yang ia petik dari hutan. Ia tidak sadar gerak-geriknya diintai dua beruang Asia yang bersembunyi di semak-semak. Salah satunya menyerang ke arahnya yang berusaha ditangkis Sato dengan panik.

"Ketika saya melihat mereka, saya berada sangat dekat dan saya pikir saya berada dalam masalah besar," kata pria berusia 57 tahun dari Prefektur Iwate, di timur laut Jepang, kepada CNN, dikutip Minggu, 10 Desember 2023. Meski selama, ia terluka dengan banyak goresan dan luka tusuk di lengan dan pahanya.

Kaitan Perubahan Iklim dan Serangan Beruang

Beruang - Vania
Ilustrasi Beruang/https://unsplash.com/Zhedek Machecek

Penampakan hewan yang dalam bahasa Jepang disebut kuma itu bukanlah hal yang aneh di Jepang. Mereka umumnya terkonsentrasi di bagian utara negara tersebut, dengan pegunungan, semak lebat dan sungai sebening kristal menyediakan habitat ideal dan sumber berlimpah biji pohon ek, kacang beech, dan kacang-kacangan. buah-buahan dan serangga yang menjadi makanan mereka.

Namun, para ahli mengatakan beruang-beruang di Jepang semakin sering keluar dari habitat tradisional mereka dan masuk ke daerah perkotaan untuk mencari makanan. Beberapa pihak berpendapat bahwa hal ini terjadi karena perubahan iklim mengganggu pembungaan dan penyerbukan beberapa sumber makanan tradisional hewan tersebut.

"Beruang memperluas wilayah jelajahnya tahun ini dan turun ke daerah dekat pemukiman manusia untuk mencari makanan," kata Profesor Maki Yamamoto, yang mempelajari beruang di Universitas Teknologi Nagaoka di Niigata. Jepang adalah rumah bagi dua jenis beruang, yakni beruang coklat, yang hidup di Hokkaido, pulau paling utara di Jepang, dan populasi kecil beruang Asia, yang tinggal di Honshu, pulau terbesar di Jepang.

"Tahun ini, beruang lebih banyak bermunculan di desa-desa justru karena buruknya panen biji ek dari pohon beech, pohon favorit beruang," katanya lagi.

Darurat Krisis Iklim dan Kehabisan Air Bersih, Presiden Maladewa Batalkan Rencana Relokasi Warganya

Pantai Maladewa
Pantai berpasir putih, Maladewa. (Unsplash/Matheen Faiz)

Sedangkan Maladewa dan sejumlah pulau di Samudera Hindia terancam tenggelam dan kehabisan sumber air bersih akibat naiknya permukaan air laut. Namun, presiden Maladewa yang baru telah membatalkan rencana relokasi warganya.

Mengutip laman Euronews, Kamis, 23 Novemeber 2023, Presiden Mohamed Muizzu berjanji bahwa negara yang berada di Samudera Hindia itu akan melawan ancaman iklim tersebut. Maladewa akan membuat proyek reklamasi lahan yang ambisius dan membangun pulau-pulau yang lebih tinggi.

 Kelompok lingkungan hidup dan hak asasi manusia telah memperingatkan bahwa hal tersebut bahkan justru dapat memperburuk risiko banjir. Maladewa berada di garis depan krisis iklim.

Sebagai tujuan liburan kelas atas, Maladewa terkenal dengan pantai pasir putihnya, laguna berwarna biru kehijauan, dan terumbu karang yang luas. Dalam beberapa tahun terakhir, rangkaian 1.192 pulau-pulau kecil berada di garis depan krisis iklim dan berjuang untuk bertahan hidup.

Mantan Presiden Mohamed Nasheed memulai pemerintahannya 15 tahun lalu dengan memperingatkan warganya bahwa mereka mungkin akan menjadi pengungsi lingkungan hidup pertama di dunia yang harus direlokasi ke negara lain.

Dia ingin Maladewa mulai menabung untuk membeli tanah di negara tetangga seperti India, Sri Lanka, atau bahkan jauh di Australia. Namun presiden yang baru, yang meminta dana asing sebesar 500 juta euro untuk melindungi pantai rentan, mengatakan warganya tidak akan meninggalkan Tanah Air mereka. 

Infografis Journal
Infografis Journal  15 Negara yang Paling Rentan pada Perubahan Iklim. (Liputan6.com/Trie Yasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya