Liputan6.com, Jakarta - Dunia pendidikan bergerak dinamis. Ada saja perubahan yang menuntut setiap elemen beradaptasi, khususnya para guru. Tanggung jawab mereka tak bisa diremehkan dalam mendidik siswa agar tak hanya pintar, tapi juga berkepribadian positif.
Hal itu dirasakan pula oleh Octavia Wuri Pratiwi. Pendiri Sekolah Tanpa Batas yang berlokasi di Gandul, Depok, tersebut menyebut Merdeka Belajar memantik banyak pergerakan dan perubahan paradigma terkait pendidikan. Ia menilai guru berkesempatan untuk terus mengembangkan diri dan berinovasi di kelasnya sehingga kemerdekaan belajar bisa dirasakan oleh semua anak di Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Namun, hal itu bukan tanpa tantangan. Kepada Tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 4 Mei 2024, ia menyebut tantangan terberat sebagai guru di pendidikan non-formal yang fokus mengurus anak putus sekolah dan anak dari keluarga ekonomi bawah adalah menciptakan lingkungan belajar yang mendukung dan memotivasi mereka untuk tetap semangat belajar meski menghadapi berbagai kesulitan.
Advertisement
"Anak-anak putus sekolah mungkin kehilangan motivasi dalam belajar karena berbagai alasan, seperti pengalaman negatif di sekolah sebelumnya atau tekanan ekonomi. Anda perlu menciptakan lingkungan yang memotivasi mereka dengan mengadakan kegiatan yang menarik dan relevan dengan kehidupan mereka, serta memberikan dukungan emosional yang mereka butuhkan," kata perempuan yang akrab disapa Wuri itu.
Selain motivasi, anak-anak tersebut juga bisa jadi memiliki keterampilan belajar yang rendah. Untuk itu, mereka perlu disediakan program pembelajaran yang sesuai dengan tingkat mereka, termasuk pembelajaran yang bersifat praktis dan berbasis pengalaman.
Kondisi ekonomi yang kurang baik juga dapat menghambat anak-anak tersebut untu tetap bersekolah. Karena itu, pihak sekolah perlu bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat, untuk membantu dalam hal beasiswa atau program bantuan makanan.
"Anak-anak tersebut mungkin menghadapi tantangan sosial dan emosional, seperti konflik keluarga atau tekanan dari lingkungan sekitar. Anda (guru) perlu menjadi sosok yang dapat dipercaya dan memberikan dukungan bagi mereka untuk mengatasi masalah-masalah tersebut," imbuh Wuri.
Â
Â
Dari Keterbatasan Tenaga hingga Tekanan Psikososial
Tantangan lainnya adalah terkait keterbatasan waktu dan tenaga. Wuri mengungkapkan bahwa mengurus anak putus sekolah dengan kondisi ekonomi kurang baik bisa memakan waktu dan tenaga yang besar. Utamanya karena banyak dari mereka tertinggal dalam hal pencapaian akademis dibandingkan teman-teman sebayanya.
Guru pun perlu memberi dukungan ekstra dan pelajaran tambahan agar siswa bisa mengejar ketertinggalan itu. Jika guru tidak bisa mengatur waktu dan tenaga dengan baik, kesehatan pribadi jadi taruhan. "Mungkin bisa melibatkan relawan atau bantuan dari masyarakat untuk membantu mengelola beban kerja tersebut," ucapnya.
Tantangan sebagai guru juga dihadapi Inge Regitta Evman, guru SDN Pasar Baru 1 Kota Tangerang, Banten. Secara umum, tantangan yang dihadapi hampir mirip dengan Wuri yang menangani siswa putus sekolah. Namun, ia lebih menyoroti soal kelas yang heterogen dengan kebutuhan dan tingkat kemampuan siswa yang beragam.
Tantangan lainnya adalah terkait tekanan mencapai target pembelajaran yang ditetapkan dan menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan metode pengajaran yang berkembang pesat. Selain itu, guru juga dituntut untuk memahami dan menangani masalah kesejahteraan mental dan emosional siswa terkait tekanan psikososial.
"Terus terang, masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk mencapai standar pendidikan yang lebih baik, terutama di Indonesia," ucap Inge yang sebelumnya mengajar kelas 4 SD Negeri Karawaci 13.
Advertisement
Pengaruh UU Perlindungan Anak dalam Proses Belajar Mengajar di Sekolah
Di sisi lain, tugas mendidik siswa menjadi lebih rumit saat berhadapan dengan aturan perundang-undangan, khususnya UU Perlindungan Anak. Inge mengakui bahwa pada dasarnya, UU tersebut bertujuan untuk melindungi hak-hak anak dan menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung mereka.Â
Wuri pun sependapat. Ia menyebut UU Perlindungan Anak menjadi instrumen penting yang bisa dipakai sebagai acuan mewujudkan sekolah yang aman, nyaman dan inklusif. Terlebih, kasus perundungan, khususnya yang melibatkan pelajar atau sekolah, begitu disorot belakangan ini.Â
Meski begitu, Inge tak memungkiri bahwa implementasi aturan tersebut terkadang membuat ruang gerak guru terbatas. "Misalnya, dalam penegakan disiplin di kelas, guru mungkin merasa terbatas oleh batasan-batasan yang ditetapkan oleh UU Perlindungan Anak. Hal ini bisa memengaruhi kemampuan guru untuk mengelola perilaku siswa secara efektif tanpa melanggar hak-hak anak," katanya.
Untuk itu, ia berharap guru dibekali pelatihan dan panduan yang memadai dalam menghadapi situasi kompleks terkait perlindungan anak di lingkungan pendidikan. Wuri juga menilai kompetensi guru perlu selalu ditingkatkan, khususnya kompetensi kepribadian yang di dalamnya termasuk tuntutan agar guru perlu reflektif dan mampu mengelola emosi.
"Jadi sebetulnya, membatasi ataupun tidak membatasi ruang gerak guru, dikembalikan kepada individunya. Mampu atau tidaknya guru menjalankan perannya," ucap Wuri.
Dukungan yang Dibutuhkan Para Guru Indonesia
Guru, kata Wuri, perlu sadar utuh akan perannya sebagai seorang pendidik yang memimpin perubahan di kelas dan menggerakkan kemerdekaan belajar agar siswa bisa mencapai kompetensi yang diharapkan. Memberi contoh pada siswa, guru perlu terus belajar dengan mengasah kemampuan dan kompetensinya.
"Saat guru punya berjuta cara untuk meningkatkan kompetensi dirinya, kualitas dirinya sebagai pengajar juga menjadi baik adanya dan akhirnya bisa memiliki cara untuk memecahkan banyak masalah dan tantangan yang ada," kata perempuan yang sudah berkarier sebagai guru sejak 2003 itu.
Namun, ia berharap profesi guru yang merupakan jantung pendidikan di Indonesia dihargai dengan layak. Ia menyatakan dukungan yang diharapkan guru adalah kesejahteraan dicukupi dan mendapatkan perlindungan dalam menjalankan perannya.
"Agar profesi guru tidak lagi dianggap sepele dan bisa dihargai semua jerih lelah dan perjuangannya memperjuangkan pendidikan dan anak-anak di Indonesia," ucapnya.
Inge menambahkan bahwa para guru juga perlu difasilitasi dengan pelatihan yang berkelanjutan, sumber daya yang memadai karena guru membutuhkan akses terhadap sumber daya pengajaran yang relevan dan bervariasi, termasuk bahan ajar, buku teks, perangkat lunak pendidikan, dan materi multimedia. Belum lagi terkait kemudahan administrasi dan kolaborasi antar-guru, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah, untuk meningkatkan praktik pengajaran.
"Pertukaran ide, pengalaman, dan sumber daya antar-rekan kerja, dukungan kepemimpinan sekolah yang efektif memainkan peran penting dalam memberikan dukungan kepada guru, serta dengan orangtua siswa untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif," ia menguraikan.
Advertisement