Terinspirasi dari Guci Abu Kremasi Mendiang Ibunya, Albert Yonathan Buat Karya Seni yang Terus Hidup dari Tanah dan Benih

Menurut Albert, karya seni itu selalu menekankan pada hasil dan biasanya bentuknya cenderung tetap atau statis. Hal ini menjadi kegelisahan Albert. Dia pun memikirkan cara agar hasil dari karyanya tetap bergerak, berkembang, dan berubah.

oleh Putri Astrian Surahman diperbarui 09 Jun 2024, 22:00 WIB
Diterbitkan 09 Jun 2024, 22:00 WIB
Terinspirasi dari Guci Abu Kremasi Mendiang Ibunya, Albert Yonathan Buat Karya Seni yang Terus Hidup dari Tanah dan Benih
Terinspirasi dari Guci Abu Kremasi Mendiang Ibunya, Albert Yonathan Buat Karya Seni yang Terus Hidup dari Tanah dan Benih. (dok. @albertyonathansetyawan/instagram/https://www.instagram.com/p/Cx7REKXS-Ii/?igsh=bTc0cnE0OGZvaHJl/Putri Astrian Surahman)

Liputan6.com, Jakarta - Setiap karya seni memiliki makna tersendiri bagi para senimannya, bahkan bersifat personal, walau juga mampu mengundang interpretasi yang beragam dari penikmatnya. Hal tersebut juga berlaku bagi salah satu seniman keramik kontemporer Indonesia, Albert Yonathan Setyawan.

Dalam acara konferensi pers pameran "TRANSITORY NATURE OF EARTHY JOY", yang berlangsung pada Jumat, 7 Juni 2024, Albert menunjukkan karya-karya seninya yang terbuat dari tanah. Menurut Albert, karya seni itu selalu menekankan pada hasil dan biasanya bentuknya cenderung tetap atau statis.

Hal ini memancing kegelisahan Albert. Dia pun memikirkan cara agar hasil dari karyanya tetap bergerak, berkembang, dan berubah.

"Nah proses bergerak dan berkembangnya itu kemudian berkaitan dengan waktu. Jadi waktu itu direkam dalam karya, itu yang saya inginkan," jelasnya.

Albert kemudian memilih tanah mentah dan benih tanaman sebagai bahan karyanya. Tanah tersebut dicampur dengan kompos, dibentuk sedemikian rupa, yang kemudian ditaruh benih tanaman. Albert memilih tanaman yang bisa hidup di area yang lembab dan tertutup agar tidak mudah mati.

"Karena tanaman itu benda hidup, jadi dia akan selalu berkembang dan tumbuh," ujarnya. "Saya berharap dalam enam sampai tujuh bulan ke depan bentuknya akan berubah. Jadi, salah satu tujuan dari pameran ini juga saya ingin mengundang publik untuk datang ke pameran jangan hanya sekali, coba lihat prosesnya seperti apa karena karyanya akan berubah terus," tambahnya.

Berdasarkan Pengalaman ketika Sang Ibu Meninggal Dunia

Alasan Mengambil Bentuk Guci Abu Kremasi Berdasarkan Pengalaman ketika Sang Ibu Meninggal Dunia
Alasan Mengambil Bentuk Guci Abu Kremasi Berdasarkan Pengalaman ketika Sang Ibu Meninggal Dunia. (dok. @albertyonathansetyawan/instagram/https://www.instagram.com/p/Cx7Sr_nSFVF/?igsh=MzZ6NTZhZW40Mmt5l/Putri Astrian Surahman)

Dalam karyanya, ada sembilan yang terbuat dari tanah mentah. Enam di antaranya berbentuk guci tempat abu kremasi yang terinspirasi dari pengalaman pribadinya.

Dia menceritakan bahwa konsep ini terinspirasi dari momen ketika ibunya meninggal dunia. Pada 2003, ibu Albert mengembuskan napas terakhirnya. Kejadian itu membuat dia bertanya-tanya soal kehidupan dan kematian manusia.

"Saya jadi bertanya-tanya ke mana nyawa seseorang setelah dia meninggal? Semudah itu meninggalkan tubuhnya. Saya jadi bertanya-tanya tentang kematian, kehidupan, tentang nyawa dan hidup, terasa sementara sekali," ujarnya.

Ketika ibunya meninggal, dia melihat ibunya dikremasi dan kemudian abunya ditaruh dalam guci. Albert melihat ada satu hal yang menarik dari guci abu. Biasanya, guci abu adalah sebagai tempat peristirahatan terakhir dalam beberapa kepercayaan. Namun, Albert kemudian membalik proses itu. Dia menjadikan guci abu tempat untuk tumbuh dan hidup.

"Saya pikir menarik ya kalau saya bikin benda yang sama, guci abu, terus kemudian dibalik materialnya dengan material tanah dan benih, terus benihnya tumbuh. Ibu saya hidup, kemudian meninggal dan dibakar, abunya ditaruh di situ, selesai. Saya balik prosesnya, saya ambil bentuknya, pakai media yang sebetulnya hidup, jadi tumbuh, ada potensi hidup. Itu yang saya pengen," jelasnya.

Arti Kesenian Bagi Albert

Albert Yonathan Setyawan
Albert Yonathan Setyawan. (dok. @albertyonathansetyawan/instagram/https://www.instagram.com/p/C7qCJ8qBpkW/?igsh=b3ZoaTR5N2c2OXVt/Putri Astrian Surahman)

Pengalaman tersebut akhirnya menjadi pengarah untuk Albert berkarya. Dia mengatakan proses awal ia berkarya itu adalah dari mencari makna dan jawaban "kenapa ya itu terjadi sama saya dan ibu saya?".

"Selalu pengalaman itu membuat saya bertanya-tanya akan sesuatu di balik apa yang kasat mata ini. Bukan serta merta spirit, tapi saya ingin tahu di balik sesuatu itu apa, alasannya apa, kenapa seperti ini, saya mencari terus," ungkap Albert.

Hal ini juga memberikan pandangan pada Albert terhadap sebuah seni. Baginya, kesenian adalah proses refleksi, proses mencari, mencari makna, dan membangun makna.

"Jadi seni beda dengan sains. Kalau sains kan berurusan dengan hukum eksak ya, kalau di seni itu jadi lebih reflektif sifatnya. Saya berpikir filosofis, saya bertanya-tanya tentang konsep yang sifatnya metafisika seperti kematian, hidup, dari situ landasan utamanya," ujarnya.

Dia juga menyampaikan bahwa Proyek Pameran Tumurun ini menjadi proyek yang bersifat personal baginya. Selain itu, proyek ini menjadi refleksi dari pengalaman hidupnya dan sebagai nostalgia bagaimana ketika ibunya meninggal, dikremasi, dan abunya ditaruh dalam guci.

Bermula dari Eksperimen

Albert memulai eksperimennya pada 2016
Albert memulai eksperimennya pada 2016. (dok. @albertyonathansetyawan/instagram/https://www.instagram.com/p/C7oPnhIh273/?igsh=NTgwdWFzbmNmZ2hl/Putri Astrian Surahman)

Gagasan yang diangkat oleh Albert dalam pameran di Tumurun itu di luar dari kebiasaannya. Awalnya, Albert berkecimpung dalam seni keramik. Dia mengaku sudah tahu karakternya seperti apa dan sudah sangat kenal dengan seni ini. Dia kemudian bereksperimen dengan media tanah pada saat ia masih berkuliah.

"Jadi pas saya kuliah saya mengerjakan satu karya. Biasanya dalam seni keramik itu suka ditutup pakai plastik untuk dikerjakan nanti. Waktu itu saya lupa, setelah berbulan-bulan ternyata ada tanaman tumbuh. Dari situ saya jadi berpikir mungkin karena kandungan mineralnya karena tanah yang saya pakai waktu itu tanah merah," tuturnya.

Pengalaman itu kemudian menjadi salah satu bahan Albert berpikir apalagi yang bisa dilakukan dari tanah tersebut. Pada 2016, Albert memulai eksperimennya dengan membuat satu mangkuk, lalu dikeringkan dan dihancurkan. Ketika proses hancurnya, ia rekam jadi sebuah video. 

"Lempung itu kalau dibentuk dan dikeringkan kan dia merekam bentuknya ya, tapi karena dia belum jadi keramik pas ditaruh di dalam air dia langsung hancur dan hancurnya itu perlahan-lahan. Nah itu yang saya kerjakan, proses hancurnya itu saya rekam," katanya.

Setelah itu, Albert berpikir apalagi yang bisa dikerjakan. Dia teringat proses tanaman tumbuh dari tanah secara tidak sengaja itu. Akhirnya, dia mulai mencoba mencampurkan kompos, benih, dan media tanam. Proses eksperimennya cukup lama, yaitu sekitar satu tahun dan beberapa kali sempat gagal sebelum akhirnya berhasil dan dipamerkan.

Infografis Wisata Museum di 5 Wilayah DKI Jakarta
Infografis Wisata Museum di 5 Wilayah DKI Jakarta.  (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya