Liputan6.com, Jakarta - Teknologi pangan semakin mutakhir dan berkembang pesat untuk menjawab keresahaan terhadap ancaman krisis pangan yang mungkin terjadi di masa depan. Di sisi lain, produksi daging lewat peternakan sapi juga menjadi sorotan karena gas metana yang dihasilkan menyumbang emisi karbon sebesar 12--41 persen, dampaknya meluas pada ancaman perubahan iklim.
Daging buatan laboratorium salah satunya yang sempat menjadi pangan alternatif telah banyak dikembangkan. Daging yang dibuat di laboratorium adalah daging asli yang dibuat langsung dari sel hewan. Dengan kata lain, daging laboratorium dibuat tanpa perlu memelihara dan menyembelih hewan.
Baca Juga
Negara tetangga, seperti Singapura kabarnya akan mengizinkan penjualan daging laboratorium. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Advertisement
Dosen, Inovator dan Peneliti Bidang Teknologi Hasil Ternak (THT) Universitas Jendral Soedirman, Juni Sumarmono PhD, mengatakan, publikasi mengenai daging laboratorium sebenarnya telah mengemuka sejak tahun 2000an. Bahkan banyak pihak sudah mulai berusaha mengomersialkan pada 2011, solusi ini masih terkait dengan dampak perubahan iklim yang dihasilkan dari peternakan sapi.
"Yang menarik sampai detik ini belum sampai pada skala ekonomis, artinya walau dalam skala industri dengan harga 80 dolar AS (setara Rp1,3 juta) per kg, masih jauh lebih mahal daripada daging sapi yang konvensional," ungkap Juni kepada Tim Lifestyle Liputan6.com, melalui wawancara telepon pada Jumat, 21 Juni 2024.
Menurutnya langkah Singapura untuk mengizinkan daging laboratorium dikonsumsi oleh warganya merupakan alternatif karena mereka tidak memiliki lahan yang cukup untuk memproduksi daging sapi lewat peternakan. Sementara jauh berbeda dari Indonesia yang melimpah Sumber Daya Alam (SDA) dan memiliki wilayah yang luas.Â
Daging Vegan Telah Lebih Dulu Komersil
Lebih jauh Juni mengatakan sumber alternatif daging sapi tidak harus dengan daging buatan laboratorium. "Yang jelas sudah komersial adalah vegetabel meat apakah dibuat dari soybean dan jenis kacang-kangan yang diolah dengan syarat-syarat tertentu dari protein nabati,"Â
Menurutnya, mereka yang memilih vegan dan ingin menikmati daging biasanya akan memilih vegetable meat. Rasanya pun tak kalah enak dengan daging aslinya, sehingga bisa diterima lidah.Â
Pengembangan daging buatan laboratorium, kata Juni belum diperlukan, apalagi jika di Indonesia perlu memikirkan tentang jaminan kehalalannya. Tapi secara teknologi dan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia sebetulnya sudah mampu, karena bahkan di banyak laboratorium terkenal dunia banyak orang Indonesia yang terlibat.
Selain itu masih banyak sumber pangan lain seperti daging domba, unggas dan tidak kalah kaya zat gizinya adalah ikan. "seolah-seolah kita tidak bisa hidup tanpa makan daging sapi dan berupaya impor daging sapi, padahal kalau tidak makan daging sapi tidak apa-apa. Masih ada telur, susu, dan yang paling penting yang kita punya adalah ikan," tegasnya.Â
Terkait dari sisi kesehatan, Juni berkomentar bahwa efek negatif daging buatan laboratorium tidak bisa terlihat langsung dan baru bisa diketahui berpuluh-puluh tahun kemudian. Efeknya dalam jangka pendek saat ini belum ada tinjauan lebih jauh.
Advertisement
Teknologi Pangan Ingin Mempertahankan Nilai Gizi dan Kesehatan
Koordinator Pusat Inovasi dan Hilirisasi Universitas Jendral Soedirman (Unsoed), Santi Dwi Astuti, mengatakan perkembangan teknologi pangan saat ini mengacu pada mempertahankan komposisi dan nilai gizi produk dengan proses pemanasan yang minimal. "Selain itu, juga arah untuk menciptakan makanan yang sehat, dengan teknologi olah pangan minimal. Pangan fungsional (pangan yang memiliki manfaat bagi Kesehatan) saat ini juga berkembang," jelas Santi lewat wawancara tertulis dengan Tim Lifestyle Liputan6.com, Sabtu, 23 Juni 2024.
Saat ini juga sedang berkembang vegetable meat, yaitu daging yang difungsikan sebagai sumber protein dari bahan hewani. Karakteristik daging tiruan yang didesain dari kedelai mirip dengan daging sapi.
Selain itu, menurut Santi, bahan nabati yang bisa dijadikan alternatif makanan vegan yaitu jamur pangan, seperti jamur tiram putih, jamur kancing dan jamur merang. Cita rasa yang dimunculkan dari jamur ini mirip dengan daging ayam.
"Kami dari Unsoed sudah mengembangkan produk olahan jamur dalam bentuk produk emulsi seperti halnya emulsi dari daging. Produknya berupa bakso, sosis dan nugget. Karakteristik bakso sosis dan nugget dari jamur mirip dengan produk yang sama dari daging ayam," imbuh Santi.Â
Bahan Pangan Indonesia Sangat beragam
Di sisi lain Santi mengatakan, bahwa minat konsumen terhadap pangan di Indonesia sangat beragam. Selain ditentukan oleh jenis kelamin, umur, kondisi fisiologis, budaya, ia menyebut kesukaan pada makanan sangat ditentukan oleh kondisi ekonomi Masyarakat. Masyarakat kota cenderung mengikuti tren dalam memilih makanan dibanding masyarakat di pedesaan.
Saat ini menurutnya untuk menopang ketahanan pangan, mengurangi impor terigu, dan meningkatkan optimalisasi pemanfaatan komoditas lokal unggulan yang dikembangkan adalah pangan pokok alternatif selain beras atau nasi dan mie maupun terigu. Makanan pokok diarahkan pada produk seperti nasi jagung, sagu, dan umbi-umbian seperti singkong, ubi jalar, talas, ganyong, dan lainnya dalam bentuk produk olahan seperti tiwul atau beras analog (beras inovasi).
Selain pangan pokok, tubuh juga membutuhkan pangan sumber protein dan lemak yang Sebagian besar dipilih dari protein nabati berbasis kedelai, seperti tahu dan tempe, termasuk telur. Setelah telor, Masyarakat memilih daging ayam.
Kemudian masyarakat baru akan memilih daging sapi dalam jumlah sedikit, daging dari bahan hewani lainnya seperti daging kambing dan kerbau. Untuk konsumsi ikan didominasi oleh ikan air tawar, konsumsi ikan laut masih sangat sedikit.Â
Advertisement