Liputan6.com, Jakarta - Gaza, yang saat ini 80 persen penduduknya mengungsi di dalam negeri mereka sendiri, dilaporkan mengalami krisis pangan terburuk di dunia, menurut laporan PBB yang baru. Laporan "Keamanan Pangan dan Gizi Dunia 2024" memberi gambaran suram tentang kelaparan dan ketahanan pangan global.
Ini, lapor TRT World, dikutip Minggu (28/7/2024), disusun bersama oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Program Pangan Dunia (WFP), Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD), Dana Anak-anak PBB (UNICEF), dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Data menunjukkan, seluruh penduduk Gaza menderita kerawanan pangan parah.
Baca Juga
Ini terutama akibat pengepungan Israel di daerah kantong tersebut. Angka ini mewakili lebih dari separuh penduduk di Sudan Selatan, Yaman, dan Suriah, serta hampir separuh di Haiti. Laporan tersebut mengungkap bahwa antara 713 juta hingga 757 juta orang di seluruh dunia kekurangan gizi tahun lalu.
Advertisement
Tercatat, rata-rata 733 juta orang menghadapi kelaparan, yang berarti bahwa satu dari setiap 11 orang berjuang melawan kelaparan. Gaza, Sudan Selatan, Yaman, Suriah, dan Haiti memiliki jumlah penduduk terbesar yang menghadapi kerawanan pangan parah.
Pada 2023, lebih dari 705 ribu orang di Burkina Faso, Gaza, Mali, Somalia, dan Sudan Selatan menghadapi "tingkat bencana" kerawanan pangan yang parah, dengan 576 ribu di antaranya berada di Gaza. Menurut IPC, Gaza menghadapi "krisis pangan paling parah."
Pada akhir tahun 2023, seluruh 2,2 juta penduduk Gaza diklasifikasikan menghadapi kondisi "krisis" tahap ketiga atau lebih buruk. Menurut laporan IPC yang dirilis pada 18 Maret 2024, lebih dari seperempat penduduk Gaza menghadapi kerawanan pangan yang parah pada tingkat "bencana."
Setengah Populasi Gaza Terancam Krisis Pangan yang Parah
Laporan tersebut memperingatkan bahwa jika konflik dan pembatasan bantuan kemanusiaan terus berlanjut, situasi ini dapat mengancam setengah dari populasi, yakni 1,1 juta orang, pada Juli 2024. Sekitar 13 juta orang di Suriah dan 18 juta orang di Yaman juga berjuang dengan tingkat kerawanan pangan yang parah.
Di laporan berbeda, Israel disebut secara sistematis menggunakan air sebagai senjata perang melawan warga Palestina di Gaza, menunjukkan ketidakpedulian terhadap nyawa manusia dan melanggar hukum internasional. Merujuk laporan baru Oxfam, pemerintah Israel menggunakan "kekurangan air untuk melakukan dehumanisasi."
Kondisi itu pada akhirnya mengancam kehidupan warga Palestina sejak Perjanjian Oslo tahun 1993, kata Oxfam dalam laporan yang diterbitkan 18 Juli 2024, dikutip dari TRT World, Senin, 22 Juli 2024. Penghancuran total infrastruktur air dan sanitasi di Gaza oleh militer Israel telah "berkontribusi signifikan terhadap kemerosotan kondisi kehidupan di Gaza."
Pasokan air telah berkurang sebesar 94 persen, yaitu kurang dari lima liter sehari per orang, atau kurang dari satu kali penyiraman toilet. Itu di bawah sepertiga dari jumlah minimal yang disarankan dalam keadaan darurat, ungkap laporan tersebut.
Advertisement
Israel Menghancurkan Fasilitas Air dan Memblokade Bantuan Kemanusiaan di Gaza
Hal ini telah menarik perhatian sejumlah pakar hukum dan air internasional. Banyak di antaranya menyatakan bahwa Tel Aviv mengubah air jadi senjata perang dengan taktik dan kebijakan militer yang telah merampas air dan sanitasi warga Palestina.
"Tindakan Israel telah membuat seluruh penduduk Gaza kehilangan layanan air dan sanitasi yang bisa menyelamatkan nyawa, menciptakan ancaman langsung, dan jangka panjang yang tidak dapat dihindari terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup masyarakat," Oxfam memperingatkan.
Ini terjadi ketika Israel juga dituduh PBB dan organisasi-organisasi hak asasi manusia menggunakan kelaparan sebagai senjata perang. Kurangnya air bersih dan sanitasi menyebabkan seperempat penduduk Gaza jatuh sakit, kata Oxfam.
Laporan Oxfam juga mencatat bahwa pemerintah Israel memicu kekurangan air dengan memutus pasokan air eksternal. Pasukan militer mereka juga menghancurkan fasilitas air dan dengan sengaja menghalangi bantuan kemanusiaan menjangkau warga Palestina di Gaza.
"Tindakan-tindakan ini secara kolektif, dikombinasikan dengan pemboman yang terus-menerus oleh Israel, telah menghilangkan kapasitas para aktor kemanusiaan memberi layanan darurat untuk menyelamatkan nyawa warga Gaza, dan melumpuhkan upaya memulihkan produksi air. Tindakan-tindakan tersebut juga menyebabkan kontaminasi yang meluas melalui limbah, mengancam kehidupan warga Palestina," tambah LSM tersebut.
Desakan terhadap Komunitas Internasional
Sejak dimulainya serangan brutal Israel di Gaza, lima lokasi infrastruktur air telah rusak setiap tiga hari. Sementara itu, 70 persen dari seluruh pompa limbah dan 100 persen dari seluruh instalasi pengolahan air limbah telah hancur, menurut Oxfam.
Awal tahun ini, Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB memperingatkan bahwa Israel menyandera seluruh penduduk Gaza. "Pernyataan dari para pejabat Israel menunjukkan niat mereka memanfaatkan penyediaan kebutuhan dasar, termasuk makanan, obat-obatan, air, bahan bakar, dan listrik, untuk menyandera seluruh penduduk Gaza demi mengejar tujuan politik dan militer," katanya.
Menurut Oxfam, dampak tindakan Israel terhadap kesehatan masyarakat di Gaza sangat buruk, dengan laporan kasus penyakit yang ditularkan melalui air meroket. LSM itu meminta para pejabat Israel mengakhiri pengepungan dan mencabut blokade di Gaza untuk memungkinkan akses tanpa hambatan dan berkelanjutan terhadap bantuan kemanusiaan, khususnya makanan, air bersih, sanitasi, dan tempat tinggal.
Badan amal tersebut mendesak komunitas internasional mengambil tindakan tegas untuk "menegakkan keadilan dan hak asasi manusia, mencegah penderitaan lebih lanjut dan melindungi hak-hak warga Palestina di Gaza, termasuk hak-hak yang tercantum dalam Konvensi Jenewa."
Lebih dari sembilan bulan setelah serangan Israel, sebagian besar wilayah Gaza hancur akibat blokade makanan, air bersih, dan obat-obatan. Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ), yang dalam keputusan terbarunya memerintahkan Tel Aviv untuk segera menghentikan serangannya di kota Rafah di selatan.
Advertisement