Liputan6.com, Jakarta - Geger sejumlah produk yang namanya mengandung kata beer, wine, rhum, hingga tuyul terpajang di Sihalal mendapat sertifikasi halal. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag) pun disorot tajam lantaran yang bertanggung jawab mengeluarkan sertifikat halal. Begitu pula dengan Komisi Fatwa MUI dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), seperti LPPOM.
Lalu, bagaimana aturan bakunya terkait penamaan tersebut? Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH. Miftahul Huda menyatakan aturan main soal penamaan produk yang sejalan dengan hukum halal haram menurut Islam sudah diatur dalam Fatwa MUI Nomor 44/2020 tentang penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal. Salah satunya adalah produk yang menggunakan nama dan/atau simbol-simbol kekufuran, kemaksiatan, dan/atau berkonotasi negatif.
Baca Juga
Kata beer, wine, rhum, anggur, dan tuyul, misalnya, masuk dalam kriteria di atas sehingga pengajuan sertifikasi halal pemilik produk dengan nama tersebut bisa ditolak. Meski demikian, bir pletok masih diperkenankan dan dianggap halal lantaran itu bagian dari tradisi yang memiliki persepsi yang jelas di masyarakat.
Advertisement
"Produk bir pletok itu sudah mentradisi atau dalam bahasa agama, sudah menjadi urf. Dan, masyarakat Betawi itu meyakini bahwa bir itu tetap haram, bukan halal. Beda dengan bir pletok karena dia minuman herbal," jelasnya dalam Media Gathering LPPOM di Jakarta, Kamis (3/10/2024).
"Atau misalnya roti buaya. Itu salah satu seserahan yang dibawa oleh masyarakat Betawi. Saya yakin masyarakat Betawi tetap meyakini bahwa buaya tetap haram. Jadi, hal-hal yang sudah mentradisi kita kecualikan dari fatwa ini," imbuhnya.
Mencegah Persepsi Publik yang Salah
Penggunaan nama wine para produk kosmetik, sambung Miftah, masih bisa mendapat sertifikasi halal lantaran produk itu tidak dikonsumsi dan nama itu merujuk nama warna yang berlaku secara internasional. Tapi, ia berkeras bahwa nama yang tidak sesuai kriteria tetap harus ditolak pengajuan sertifikasi halalnya. Ia menyatakan bahwa sertifikasi halal itu tidak hanya pada kehalalan produk, tapi ada unsur dakwah.
"Jangan sampai sesuatu yang telah diharamkan oleh ulama itu menimbulkan hal yang tidak diharamkan, atau dalam bahasa usufiknya itu, menjaga agar orang tidak terjerumus pada sesuatu yang dilarang, diharamkan," ia menjelaskan.
Sebagai contoh, usulan nama produk kopi wine. Meski secara zat sama sekali tidak mengandung wine, nama kopi wine dikhawatirkan menyesatkan persepsi publik sehingga pengajuan sertifikasinya harus ditolak. "Kalau kita halalkan kopi wine dengan nama kopi wine, itu imbasnya di masyarakat, 'wah, wine sudah dihalalkan oleh MUI'. Berarti, sah untuk kita minum dan kita konsumsi. Nah, ini jangan sampai," ujarnya lagi.
Contoh kasusnya, ucap Miftah, sudah ada saat MUI Jawa Barat mengeluarkan sertifikasi halal untuk minuman bersoda. Saat sidang Komisi Fatwa MUI untuk menetapkan status kehalalan produk, tidak ada sama sekali menyebut soju, tetapi saat dipasarkan, produsen malah menggunakan istilah itu untuk menarik perhatian konsumen.
Advertisement
Kriteria Penamaan dan Desain Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal
Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 44/2020, berikut adalah kriteria produk yang tidak layak disertifikasi halal:
1. Produk yang menggunakan nama dan/atau simbol-simbol kekufuran, kemaksiatan, dan/atau berkonotasi negatif;
2. Produk yang menggunakan nama benda/hewan yang diharamkan, kecuali:
a. yang telah mentradisi (‘urf) yang dipastikan tidak mengandung bahan yang diharamkan;
b. yang menurut pandangan umum tidak ada kekhawatiran adanya penafsiran kebolehan mengkonsumsi hewan yang diharamkan tersebut;
c. yang mempunyai makna lain yang relevan dan secara empirik telah digunakan secara umum.
3. Produk yang berbentuk babi dan anjing dengan berbagai desainnya;
4. Produk yang menggunakan kemasan bergambar babi dan anjing sebagai fokus utama;
5. Produk yang memiliki rasa/aroma (flavour) unsur benda atau hewan yang diharamkan;
6. Produk yang menggunakan kemasan yang berbentuk dan/atau bergambar erotis dan porno.
Terkait nama-nama yang melanggar aturan tetapi terdaftar memiliki sertifikasi halal, Miftah menyatakan sudah tidak ada lagi karena produk-produk itu temuan 2023, bukan tahun ini, menurut pengakuan BPJPH. Dalam waktu dekat, Komisi Fatwa MUI juga diajak bertemu dengan BPJPH dan Komite Fatwa untuk membahas penamaan produk yang melanggar standar.
Pihaknya juga mengajak masyarakat berpartisipasi aktif mengawal hal itu lantaran banyak celah yang bisa dimanfaatkan pelaku usaha yang berniat jahat atau nakal. "Sanksinya kita serahkan kepada BPJPH untuk diatur terhadap pelaku usaha yang nakal itu," imbuhnya.
BPJPH Lempar Tangung Jawab
Sebelumnya, alih-alih mengakui kesalahan, BPJPH buru-buru melemparkan tanggung jawab pada pihak lain yang terkait dalam rantai proses pengeluaran sertifikasi halal, yakni Komisi Fatwa MUI dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), seperti LPPOM.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJP Mamat Salamet Burhanudin dalam keterangan yang dikutip dari laman kemenag.go.id, Selasa, 1 Oktober 2024, menyebut berdasarkan catatannya, sejumlah produk dengan nama menggunakan kata 'wine' yang sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 61 produk, dan 53 produk sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa.
Sementara, sertifikat halal produk yang namanya mengandung kata 'beer' diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah delapan produk dan 14 produk sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa.
"Perlu kami sampaikan juga untuk produk-produk dengan nama menggunakan kedua kata tersebut yang ketetapan halalnya dari Komisi Fatwa MUI adalah produk yang telah melalui pemeriksaan dan/atau pengujian oleh LPH, dengan jumlah terbanyak berasal dari LPH LPPOM sebanyak 32 produk. Selebihnya berasal dari lembaga yang lain," ucapnya.
LPPOM MUI selaku salah satu Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) menelusuri temuan 32 nama produk dengan kata kunci 'wine' dan 'beer' yang diambil dari Sihalal. Hasilnya, terdapat 25 nama produk dengan kata kunci 'wine' di database LPPOM.
"Semuanya berupa produk kosmetik, di mana penggunaan kata 'wine' berasosiasi dengan warna (bukan sensori rasa maupun aroma). Menurut Komisi Fatwa MUI, penggunaan kata 'wine' yang menunjukkan jenis warna 'wine' untuk produk non-pangan diperbolehkan," bunyi pernyataan tertulis LPPOM MUI yang diterima Tim Lifestyle Liputan6.com, Rabu, 2 Oktober 2024.
Advertisement