Liputan6.com, Jakarta - Industri aviasi tak baik-baik saja dengan masalah yang dihadapi perusahaan pembuat pesawat, Boeing. Efeknya bak bola salju karena ternyata berdampak pada operasional maskapai. Salah satunya menimpa Riyadh Air, maskapai baru asal Arab Saudi yang rencananya akan mulai beroperasi pada kuartal pertama 2025.
Namun, rencana tersebut kemungkinan diubah karena maskapai baru menerima empat pesawat Boeing 787 Dreamliner berbadan lebar pada tahun ini, bukan delapan seperti yang diharapkan. Selain Boeing, maskapai itu juga memesan 60 pesawat Airbus A321neo untuk melengkapi armadanya.
Advertisement
"Kami telah beradaptasi seperti yang dilakukan semua orang dalam beberapa kesempatan untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkiraan terbaru," kata Tony Douglas, CEO maskapai penerbangan tersebut, dikutip dari The Sun, Senin, 20 Januari 2025.
Advertisement
"Saya yakin, berdasarkan perkiraan terbaru, bahwa kami akan mendapatkan pengiriman tahun ini. Apakah ini sepenuhnya tanpa risiko? Tentu saja tidak," sambungnya.
Riyadh Air berambisi bisa melayani penerbangan ke 100 destinasi di seluruh dunia pada 2030. Maskapai itu baru didirikan pada Maret 2024 tetapi posisinya kini sudah menjadi maskapai penerbangan kedua terbesar Arab Saudi, di belakang Saudia Airlines yang dimiliki pemerintah.
Menurut bos Riyadh Air, lebih dari 336.000 orang, termasuk 48.000 pilot, telah melamar untuk bekerja di maskapai tersebut. Maskapai penerbangan baru itu akan berbasis di Bandara Internasional Raja Salman - bandara baru Riyadh.
Arab Saudi terus menggenjot sektor pariwisatanya yang diharapkan bisa mendongkrak pendapatan negara sebagai pengganti sektor migas. Ditargetkan 150 juta kunjungan wisatawan asing ke Arab Saudi pada akhir 2025.
Bandara Internasional Raja Salman
Bandara Internasional Raja Salman akan memiliki enam landasan pacu dan akan dapat menampung 120 juta penumpang saat dibuka pada 2030. Bandara ini akan memiliki lahan seluar lebih dari 57 kilometer persegi dengan sekitar 12 kilometer persegi didedikasikan untuk fasilitas rekreasi.
Douglas mengonfirmasi bahwa pembatasan peredaran minuman beralkohol akan tetap berlaku sejalan dengan aturan ketat Arab Saudi. Negara Islam itu baru-baru ini mengizinkan alkohol untuk dihidangkan di lingkungan diplomatik Riyadh, tetapi konsumsi di tempat lain secara ketat dilarang.
Diharapkan aturan tentang penjualan minuman keras dapat dilonggarkan dalam lima tahun mendatang sehingga bisa disajikan di bar dan restoran tertentu, termasuk di bandara. "Kami akan mematuhi hukum negara seperti yang dilakukan orang lain di mana pun mereka berada. Jika hukum berubah, kami akan beradaptasi," ujar Douglas.
Terkait ekspansi rute penerbangan, Douglas belum akan mempublikasikannya sampai mereka dipastikan mendapatkan slot. Namun, Eropa Barat menjadi salah satu tujuan. "Kami sangat ingin mendapatkan akses ke Heathrow," katanya.
Advertisement
Respons Boeing
Sementara, Boeing menanggapi kabar keterlambatan pengiriman pesanan pesawat dalam sebuah pernyataan kepada The Sun Online. "Kami terus bekerja sama dengan Riyadh Air mengenai jadwal pengiriman mereka dan berharap dapat mendukung operasi perdana Riyadh," ujarnya.
Kabar tersebut menggambarkan situasi internal Boeing yang belum benar-benar pulih. Perusahaan aviasi asal Amerika Serikat itu terus diterpa masalah sejak beberapa tahun terakhir karena terlibat dalam sejumlah kecelakaan fatal.
Salah satu yang terbaru adalah kecelakaan pesawat Jeju Air pada Minggu, 29 Desember 2024, dan menewaskan 1779 dari 181 orang di pesawat tersebut. Saham Boeing (BA) turun 2,3 persen pada penutupan perdagangan Senin, 30 Desember 2024. Insiden yang terjadi di Korea Selatan ini tengah diselidiki oleh pihak berwenang.
Dikutip dari Yahoo Finance, Selasa, 31 Desember 2024, pada hari Minggu sebuah pesawat Boeing 737-800 milik Jeju Air berusaha mendarat darurat di Bandara Internasional Muan, Korea Selatan. Pesawat itu mendarat tanpa roda pendaratan, tergelincir di bagian perutnya, dan menabrak dinding beton.
Erick Thohir Temui Petinggi Boeing
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menghadiri pertemuan bilateral dengan Duta Besar Amerika Serikat, Kamala Shirin Lakhdhir dan pejabat dari Kamar Dagang dan Industri Amerika Serikat (US Chambers) pada Kamis, 5 Desember 2024. Erick mengungkapkan, pertemuan tersebut juga dihadiri oleh perwakilan dari Boeing.
"Tadi hadir (perwakilan) Boeing. Saya sampaikan, kita ingin sekali bekerja sama dengan Boeing, karena kita kurang jumlah pesawatnya," ungkap Erick dalam konferensi pers di Kantor BUMN, Jakarta Pusat.
Ia mencatat, Indonesia membutuhkan total 700 unit pesawat untuk memperluas operasional industri penerbangan. Namun pasca-COVID-19, jumlah pesawat di Indonesia telah menyusut menjadi hanya 390 unit.
"Maka dari itu, solusinya mau tidak mau harus bekerja sama, apakah dengan Airbus, Boeing, ataupun Comac dari China, ataupun pesawat dari Rusia," ujarnya. "Karena kita tidak mungkin 10 tahun lagi terbelenggu dengan jumlah pesawat yang sama, terutama posisi kita sebagai negara kepulauan," sambung Erick.
Bersama Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, Erick mengatakan, BUMN terus mendorong inovasi-inovasi dan investasi pada industri penerbangan di dalam negeri. "Saya juga sampaikan ke Pak Menteri Investasi dan Kepala BKPM Rosan Roeslani, apakah investasi ini bisa lebih dimudahkan ke depan, karena isu jumlah pesawat yang tidak memadai," katanya.
Advertisement