Dari Sampah Botol Jadi Produk Fashion Ramah Lingkungan, Wujudkan Lautan yang Bebas Plastik

Liputan6.com, Jakarta - Dari sampah yang tidak diinginkan, jadi desain produk fashion bermanfaat. Masa depan laut yang bebas plastik dan kaya akan keanekaragaman hayati sangat mungkin terwujud.

Motivasi inilah yang melatarbelakangi Waveit, jenama fesyen asal Hong Kong membuat produk tas dari sampah botol plastik. Tak sekadar botol plastik, semua suplainya telah dikurasi dan dipastikan tidak menimbulkan residu oleh dua komunitas lingkungan, yaitu A Plastic Ocean dan The Sea Cleaners yang berbasis di beberapa negara, seperti Prancis, Swiss, Spanyol, dan Indonesia.

Waveit masuk ke Indonesia sejak 2024, dijual melalui toko retail Urban Icon. Belum genap setahun, produknya langsung mendapat sambutan luar biasa.

"Kita very proud amazing banget, kita baru bawa 2024 kemarin, tapi sales-nya sudah terjual 30 persen dari stock yang kita bawa," ungkap Brand Manager Urban Icon, Ita Witdiawati Manager Retail Operational Urban Icon, saat konferensi pers di tokonya cabang yang berlokasi di PIM I, Jakarta Selatan, Rabu, 22 Januari 2025.

Hal ini yang membuat Urban Icon ingin memperkenalkan brand ini lebih luas lagi. Ia menambahkan bahwa produknya terdiri dari beberapa item koleksi, seperti messenger bag, maupun tas punggung atau backpack ukuran 11 L dan 15 L.

Produsennya mencantumkan jumlah botol plastik yang dibutuhkan untuk membuat setiap item tersebut. "Yang Small (messenger bag) ini dibuat dari delapan botol plastik, permukaannya very sleek karena sefokus itu kita sama product," sambungnya. 

Ada pula produk bertema sea sparkle, sebagian akan menyala saat terkena lampu flash sebagai tema besar Waveit tentang laut. Terdapat juga woven tag dengan tanda menyala yang menandakan semua material dibuat dari bahan daur ulang.

"Dengan ini, kita bisa terus melestarikan gaya hidup yang sustainable," ucapnya, sambil mengatakan bahwa sebenarnya sudah ada pula brand lain yang menerapkan konsep serupa seperti Fosil dengan memilih bahan vegan untuk materialnya.

Dengan bahan terpilih, tas bisa awet bertahun-tahun dan tidak cepat rusak karena permukaannya tidak meresap air jika terkena rintik hujan. Material lem maupun pelengkap bahan tas juga vegan, atau tanpa unsur hewani seperti penggunaan woll maupun sutera. 

Di kesempatan yang sama, Yuriz Diana dari Zero Waste mengungkapkan bahwa setiap orang memiliki kebutuhan berbeda-beda. Namun apakah seseorang sudah terjebak konsumerisme, ia mengembalikannya kepada masing-masing individu. Tandanya bisa dilihat lewat jawaban apakah barang-barang yang dibeli benar dibutuhkan atau tidak.

"Kita harus tahu kita butuh apa. Kalau mau beli barang baru, sebisa mungkin memanfaatkan dengan benar dan sebisa mungkin tahu asal barangnya serta apa impact baik maupun buruknya agar sebagai konsumen bisa lebih bertanggung jawab," terangnya. 

Mengutip dari kanal Feed Liputan6.com, 7 November 2024, industri fashion terus berkembang dengan inovasi material yang lebih ramah lingkungan. Salah satu terobosan yang menarik perhatian adalah vegan leather atau kulit vegan. Itu adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bahan alternatif yang menyerupai kulit hewan tapi tidak menggunakan komponen hewani dalam proses pembuatannya.

Material ini dirancang untuk meniru tampilan, tekstur, dan kegunaan kulit konvensional, tetapi dengan pendekatan yang lebih etis dan ramah lingkungan. Bahan dasar vegan leather dapat bervariasi, mulai dari serat sintetis hingga bahan-bahan alami yang inovatif. 

Ada Polyurethane Leather (AP), yang terbuat dari lapisan plastik yang diaplikasikan pada kain atau serat sintetis. Pun ada pula Cork Leather yang memanfaatkan kulit pohon cork. Keragaman bahan baku ini memungkinkan produsen untuk menciptakan vegan leather dengan karakteristik yang berbeda-beda, menyesuaikan kebutuhan berbagai produk fashion dan aksesori.

Konsep kulit sintetis sebenarnya telah ada sejak lama, tapi istilah "vegan leather" mulai populer seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan isu lingkungan dan hak asasi hewan. Dalam perkembangannya, pada abad ke-19 kulit sintetis pertama kali diperkenalkan di London, menggunakan bahan dasar sayuran.

Lalu di awal abad ke-20, perkembangan teknologi polimer memungkinkan produksi kulit sintetis berbahan plastik seperti PVC. Selanjutnya pada era1990-an, istilah "vegan" mulai digunakan secara luas, termasuk dalam konteks fashion dan material. Berlanjut pada 2000-an, inovasi dalam bahan ramah lingkungan mendorong pengembangan vegan leather berbasis tumbuhan.

Pada 2010-an sampai sekarang, peningkatan signifikan dalam kualitas dan variasi vegan leather, berikut adopsinya oleh brand fashion ternama. Perkembangan ini menunjukkan vegan leather bukan sekadar tren sesaat, melainkan hasil dari evolusi panjang dalam upaya menciptakan alternatif yang lebih berkelanjutan untuk industri fashion. Material ini menawarkan alternatif yang menjanjikan bagi mereka yang ingin tampil stylish tanpa menggunakan produk hewani.