Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan ritel fesyen raksasa asal Amerika Serikat (AS) Forever 21 mengajukan bangkrut untuk kedua kalinya dalam enam tahun ke pengadilan. Mereka juga menyatakan akan menghentikan operasi. Langkah itu diduga diambil buntut tekanan kinerja dan meningkatnya persaingan di sektor mode, terutama penjualan onlne.
Melansir The Guardian, Selasa (18/3/2025), perusahaan gagal menarik pembeli untuk sekitar 350 tokonya di AS yang makin sepi pengunjung. Meski begitu, merek dagang dan kekayaan intelektual Forever 21 tetap berada di bawah kepemilikan Authentic Brands Group, yang berencana mempertahankan merek tersebut dalam bentuk lain.
Advertisement
Persaingan dari perdagangan daring dan penurunan popularitas mal-mal besar di Amerika telah jadi tantangan besar bagi Forever 21. Didirikan pada 1984 di Los Angeles, AS, oleh imigran Korea Selatan, Forever 21 sempat jadi brand favorit anak muda yang mencari pakaian modis dengan harga terjangkau.
Advertisement
Di masa kejayaannya, perusahaan ini memiliki 800 toko di seluruh dunia, mempekerjakan 43 ribu orang, dan mencatatkan penjualan tahunan lebih dari 4 miliar dolar AS. Namun, perubahan tren belanja telah melemahkan bisnis ritel, seperti Forever 21 dan Express, pemilik Bonobos, yang juga mengajukan bangkrut tahun lalu.
Forever 21 kini menggelar diskon besar-besaran di semua tokonya di AS sebagai bagian dari proses likuidasi. Perusahaan juga akan tetap menerima kartu hadiah pelanggan dalam 30 hari pertama sejak pengajuan kebangkrutan. Di sisi lain, operasi Forever 21 di luar AS tidak terpengaruh kebangkrutan ini.
Forever 21 di Luar AS
Perusahaan juga masih membuka peluang bagi investor yang tertarik membeli sebagian atau seluruh bisnisnya di AS. Perusahaan ini sebelumnya mengajukan kebangkrutan pada 2019 dan diakuisisi Sparc, sebuah usaha patungan antara Authentic Brands Group dan operator mal Simon Property, serta Brookfield Asset Management Inc.
Melansir People dan New York Times, 1 Oktober 2019, Forever 21 ketika itu telah melaporkan kebangkrutan Pengadilan Kepailitan Amerika Serikat, Minggu, 29 September 2019.
Pendapatan mereka terus menurun setiap tahunnya. Pada 2018, pendapatan perusahaan tercatat 3,3 miliar dolar atau setara Rp46,9 triliun. Turun cukup jauh dari 2016, yang mencatat 4,4 milyar dolar atau setara dengan Rp62,5 triliun pendapatan.
Berdasarkan rilis yang diterbitkan, Forever 21 dikatakan akan menutup total 350 gerai. Sebanyak 178 gerai di Amerika Serikat akan ditutup. Sisanya, akan tersebar di 40 negara termasuk gerai-gerai di Jepang dan Kanada.
"Hal ini sangat penting dan perlu dilakukan untuk mengamankan masa depan perusahaan. Kami akan melakukan pengaturan ulang dan reposisi perusahaan," kata Wakil Presidir Eksekutif Forever 21, Linda Chang.
Advertisement
Mengamankan Masa Depan Perusahaan
Meski menutup ratusan gerai, mereka berencana melanjutkan penjualan dari laman resminya. Alasannya adalah penjualan secara online memberikan keuntungan sebesar 16 persen.
"Apa yang kami harapkan dari proses ini adalah kami dapat menyederhanakan segala sesuatunya, sehingga keadaan dapat kembali lebih baik dan kami akan terus melakukan yang terbaik," tambah Linda saat diwawancarai New York Times.
Gerai yang akan bertahan ada di Amerika Latin, Meksiko, dan beberapa mal di Amerika. Forever 21 juga mengatakan mereka masih akan memproduksi merchandise untuk wanita dan pria karena melihat pasar yang menjanjikan. Tapi, mereka akan mengkurasi produksi barang elektronik, kosmetik, dan perabotan lain.
Kebangkrutan yang dialami Forever21 disebabkan pesatnya perkembangan usaha fesyen, sehingga brand ini dapat dikatakan kalah saing. Forever 21 meraih sukses besar di awal 2000an dan mereka dengan cepat membuka berbagai cabang di tempat lain.
Kesalahan Forever 21
"Kami bermula dari tujuh negara hingga buka di 47 negara dalam waktu kurang dari enam tahun, dan karenanya kami mengalami berbagai macam masalah. Industri pakaian eceran berubah dan penjualan di mal juga melambat. Kini, penjualan juga beralih lebih banyak ke online," ujar Linda lagi.
Mark A. Cohen, peneliti bisnis eceran dari Sekolah Bisnis Colombia, mengatakan bahwa kesalahan Forever 21 adalah perluasan gerai tanpa membertimbangkan hal-hal yang rasional. Selama membuka bisnisnya, brand itu selalu menargetkan anak muda di usia 20 hingga orang dewasa di umur 40 sebagai pelanggan.
Sayangnya, kini tren belanja anak muda telah berubah. Wendy Liebmann, Kepala Lembaga Konsultasi Usaha Eceran, WSL Strategic Retail mengatakan, anak muda kini dilihat lebih gemar berbelanja barang ramah lingkungan. "Estetika fisik dan emosional kini bukan hal yang diinginkan para pelanggan lagi," ujar Wendy.
Linda mengatakan bahwa dia dan saudarinya akan tetap mencoba mempertahankan brand ini, tapi tak bisa dipungkiri bahwa suatu saat mungkin mereka akan melepaskannya ke orang lain. Diketahui, brand Forever 21 didirikan orangtuanya saat migrasi dari Korea Selatan ke California pada 1980an.
Advertisement
