Anakku Sayang, Anakku Malang

Iqbal terbaring tak sadarkan diri di ruang perawatan intensif khusus anak RS Koja. Sedangkan Aditya jadi korban penganiayaan ibu tirinya.

oleh Tim Liputan 6 SCTV diperbarui 22 Mar 2014, 18:27 WIB
Diterbitkan 22 Mar 2014, 18:27 WIB
Barometer-Bocah-140322c
(Liputan6 TV)

Liputan6.com, Jakarta - Iqbal Syaputra terbaring tak sadarkan diri di ruang perawatan intensif khusus anak RS Koja, Jakarta Utara. Alat bantu pernapasan dan selang infus menempel di tubuh mungilnya. Bocah korban penculikan, eksploitasi, dan penganiayaan berusia 3,5 tahun itu kekurangan oksigen pada otak dan mengalami infeksi hingga sempat koma.

Dalam tayangan Barometer Pekan Ini di Liputan 6 Petang SCTV, Sabtu (22/3/2014), di luar ruangan hanya kakek, bibi, dan paman Iqbal yang setia menunggui sang bocah. Meski Iqbal kerap mencari-cari ibunya, keberadaan sang ibu Iis Novianti entah di mana.

Saat pertama kali dibawa ke RS, Iqbal masih dalam keadaan sadar. Bocah ini ditemukan warga di halte busway dalam kondisi kejang-kejang. Selain tangan kirinya patah, tubuh bocah itu juga penuh dengan luka bakar dan lebam serta luka parah di lidah dan alat kelaminnya. Warga kemudian membawa Iqbal ke puskesmas.

Iqbal ternyata diculik oleh Dadang Supriyatna. Dadang kesal karena ibu Iqbal, Iis, menjalin hubungan dengan lelaki lain. Dia kemudian memutuskan membawa Iqbal untuk menjadi pengemis. Pengakuan Dadang pada polisi sangat mengejutkan. Dia menganiaya korban dengan cara menusukkan paku panas hingga 16 kali.

Kemudian Dadang menggigit, menyundut dengan rokok, melukai lidah, dan kelamin serta mematahkan tangan Iqbal. Itu semua dilakukan supaya Iqbal bisa membuat iba sehingga bisa menghasilkan uang lebih banyak saat meminta-minta di jalanan.

Dadang kini dijerat dengan pasal berlapis. Mulai dari pasal penganiayaan berat, UU Perlindungan Anak, hingga pasal eksploitasi anak dengan ancaman hukuman hingga 10 tahun penjara.

Februari lalu, Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), juga mengevakuasi 10 balita dan 2 bayi dari Panti Asuhan Samuel's Home di kawasan elite Gading Serpong, Tangerang, Banten. Hal itu dilakukan karena diduga telah terjadi penganiayaan di panti itu.

Sejumlah anak mengaku mendapat siksaan dari pengurus panti, seperti diborgol atau dikurung. Mereka juga hanya mendapat mi instan yang biasanya disajikan mentah. Itu merupakan satu-satunya menu makanan selama bertahun-tahun. Mereka juga mengaku dipaksa minum air dari keran.

Pemilik dan pengelola panti asuhan, Samuel Watulinggas, yang menjadi tersangka kasus dugaan penyiksaan, pelecehan seksual, dan penelantaran anak, menepis tudingan-tudingan tersebut.

Ada lagi Aditya (Adit), korban penganiayaan ibu tirinya. Adit yang tinggal bersama ayah dan ibu tiri pascaperceraian orangtuanya, berkali-kali menjadi sasaran kekejaman sang ibu tiri. Hingga tubuh, wajah dan kepala Adit luka-luka. Adit bahkan dibuang ke pinggir perkebunan sawit di Kampar, Riau. Beruntung Adit kemudian diselamatkan oleh tukang sayur hingga bisa bertemu dengan ibu kandungnya kembali.

Pada 2013, Komnas PA mencatat terjadi 1.620 kasus kekerasan pada anak, 490 kasus kekerasan fisik, 313 kasus kekerasan psikis, dan yang terbanyak adalah kasus kekerasan seksual sebanyak 817 kasus. Pada 2013, tercatat 181 kasus yang berujung pada tewasnya korban. Sementara pada 141 kasus korban luka berat dan 97 kasus korban luka ringan.

Jumlah kasus kekerasan pada anak pada 2013 meningkat 60% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Yang mengejutkan adalah pelakunya. Keluarga, lingkungan sosial, dan lingkungan keluarga merupakan pelaku kekerasan terhadap anak.

Meski juga terjadi di kalangan keluarga menengah dan atas,  mayoritas kasus kekerasan terhadap anak terjadi pada keluarga dengan kategori ekonomi kurang mampu.

Tak hanya rentan terhadap kekerasan, kemiskinan juga membuat anak-anak harus berjuang untuk hidup. Seperti Siti Aisyah Pulungan. Bocah perempuan berusia 8 tahun itu harus mengurus ayahnya yang sakit paru-paru akut dan terpaksa tinggal di becak sepeda di Medan, Sumatera Utara.

Saat anak-anak lain bisa bermain dan menuntut ilmu di sekolah, Aisyah mengurusi sang ayah, Nawawi Pulungan. Mulai dari mandi, memberi makan, hingga mencari uang untuk makan. Alhasil, selama 2 tahun Aisyah tak sekolah.

Bercampur dengan barang-barang mereka, Aisyah dan ayahnya yang tak memiliki tempat tinggal hanya hidup di becak. Sehari-hari, mereka memarkirkan becaknya di pelataran parkir Masjid Raya Al Matsun, Medan.

Beruntung, kini keadaan sedikit membaik. Pemkot Medan membawa ayah Aisyah ke RSU Pringadi, Medan. Di RS, Aisyah tetap setia merawat sang ayah. Aisyah pun kemudian disekolahkan oleh Pemkot Medan di dekat RS.

Nasib malang yang menimpa anak-anak membuat masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Sayang Anak menggelar aksi 1.000 suluh untuk tunas bangsa. Mereka menuntut pemerintah melindungi anak-anak dan menyerukan solidaritas nasional untuk penyelamatan anak-anak.

Anak-anak adalah generasi penerus harapan bagi masa depan bangsa. Namun, usia kanak-kanak menjadikan mereka rapuh dan kerap tak berdaya menghadapi kejamnya dunia. (Rinaldo)

 

Baca Juga:

Taruh Bayi Nangis di Freezer, Ayah Dibui 16 Tahun

[VIDEO] Bayi 8 Bulan Diceburkan Paman ke Sumur

Penderita Penyakit Asap Riau Tersisa 663 Jiwa

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya