JK: Saya Genjot Wisata Pasca-Bom Bali I, Pelaksanaan oleh Deplu

Jusuf Kalla menjadi saksi meringankan untuk terdakwa mantan Sekjen Deplu Sudjadnan Parnohadiningrat.

oleh Oscar Ferri diperbarui 04 Jun 2014, 14:48 WIB
Diterbitkan 04 Jun 2014, 14:48 WIB
Jusuf Kalla
Jusuf Kalla (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dirinya sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) pada tahun 2002 punya tanggung jawab untuk meningkatkan kembali pariwisata Bali pasca-Bom Bali I. Karena itu, pemerintah menyetujui dan memerintahkan pelaksanaan kegiatan internasional yang diajukan Departemen Luar Negeri (sekarang Kementerian Luar Negeri).

Hal itu diutarakan JK saat bersaksi untuk terdakwa mantan Sekretaris Jenderal Deplu Sudjadnan Parnohadiningrat dalam sidang kasus dugaan korupsi pelaksanaan kegiatan pertemuan dan sidang internasional di Deplu selama 2004-2005.

"Perintah itu sejak habis Bom Bali I 2002. Dan saya bertanggung jawab (sebagai Menko Kesra) tentang peningkatan wisata, termasuk Bali. Artinya perintahnya begitu, konferensi dalam negeri dipindahkan ke Bali dan di luar negeri ditarik ke Bali," ujar JK di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Rabu (4/6/2014).

Menurut JK, setiap konferensi atau kegiatan internasional yang dilakukan Deplu saat itu mendapatkan keuntungan. Karena setiap kali kegiatan pasti memicu orang beramai-ramai untuk datang.

"Setiap konferensi menghasilkan keramaian. Jadi itu bermanfaat bukan hanya untuk konferensi tapi perekonomian Bali jadi meningkat," ucap dia.

JK menjelaskan, sejak Presiden Megawati Soekarnoputri sampai Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan untuk melaksanakan kegiatan internasional sebanyak-banyaknya.

"Keputusan pemerintah adalah laksanakan konferensi internasional sebanyak-banyaknya agar image (citra) Bali kembali normal. Tapi pelaksanaannya Deplu sendiri," ucap dia.

"Karena kita melihat cara rehabilitasi setelah Bom Bali I, maka kita mau buat image. Maka setelah Bom Bali 2 (kegiatan internasional) dilanjutkan. Karena kita tidak mau seperti Mesir," ujar cawapres pendamping capres Joko Widodo ini.

Mantan Sekjen Deplu Sudjadnan Parnohadiningrat didakwa melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp 4,570 miliar dalam pelaksanaan kegiatan 12 pertemuan dan sidang internasional oleh Deplu selama 2004-2005.

Dalam dakwaan disebut rinci bahwa dari uang Rp 4,570 miliar itu, sebesar Rp 300 juta diambil untuk kepentingan Sudjadnan sendiri. Sisanya, Sudjadnan memberikan untuk memperkaya orang lain, di antaranya Kepala Biro Keuangan Deplu Warsita Eka sebesar Rp 15 juta, Kepala Bagian Pelaksana Anggaran Sekjen Deplu I Gusti Putu Adnyana Rp 165 juta, Kepala Bagian Pengendali Anggaran Sekjen Deplu Suwartini Wirta sebesar Rp 165 juta, dan Sekretariat Jenderal Deplu Rp 110 juta.

Tak cuma itu, dalam dakwaan disebut juga nama anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Nur Hassan Wirajuda diduga ikut kecipratan hasil dugaan korupsi yang dilakukan Sudjadnan. Wirajuda yang saat kasus itu terjadi masih menjabat menteri luar negeri diduga kebagian dana sebesar Rp 440 juta dari Sudjadnan atau Rp 40 juta per kegiatan.

Saat bersaksi di PN Tipikor, Jakarta, Rabu 28 Mei lalu, mantan Menlu Wirajuda menepis telah menerima cipratan dana Rp 40 juta per kegiatan yang diadakan Departemen Luar Negeri.

Sementara Sudjadnan, atas perbuatannya itu didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berdasar ketentuan pasal tersebut, Sudjadnan terancam hukuman pidana seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya