Liputan6.com, Jakarta - Umpatan mahasiswi S2 Universitas Gadjah Mada (UGM) Florence Sihombing di akun Path miliknya beberapa waktu lalu berujung pada penahanannya di Kepolisian Daerah (Polda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Namun, penahanan terhadap Florence itu disayangkan oleh anggota Komisi Hukum III DPR RI Eva Kusuma Sundari.
Menurut Eva, sebagai lembaga penegak hukum, polisi seharusnya menerapkan praduga tak bersalah kepada Florence dengan melakukan mediasi terlebih dahulu sebelum dilakukan penahanan.
"Karena kejahatan Flo (Florence) tidak ada karakter bahaya, baik secara sosial maupun politik," kata Eva saat dihubungi di Jakarta, Minggu (31/8/2014).
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu berpendapat apa yang disampaikan Florence lewat akun Path dan Twitter-nya hanya menunjukkan emosi sesaat sehingga tidak mengancam seseorang atau kelompok tertentu.
"Bandingkan dengan tindak kriminal ISIS (kelompok radikal Negara Islam Irak dan Suriah), penghalalan darah seseorang, bahkan penyerangan-penyerangan fisik," tambah Eva.
Untuk itu, Eva berharap kepada institusi pimpinan Jenderal Polisi Sutarman itu untuk lebih bijak dalam memproses Florence.
"Polri justru melakukan paradigma baru sebagai pengayom, pelindung ke pihak yang lemah dan melakukan penegakan hukum ke yang 'berkekuatan'. Jangan kebalik-balik. Saya berharap segera dilepaskan," tutup Eva.
Nama Florence Sihombing mendadak tenar beberapa hari lalu. Sebab, mahasiswi Magister Hukum UGM itu memaki Yogyakarta dengan nada rasis di media sosial terkait peristiwa antrean bahan bakar minyak (BBM) di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Lempuyangan, Yogyakarta.
Tak cuma di-bully onliner di linimasa beberapa media sosial, makian itu juga membuat Florence harus berurusan dengan hukum. Sebab, setelah diperiksa Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda DIY, Florence tidak pulang ke rumahnya. Perempuan itu langsung ditahan karena statusnya dinaikkan menjadi tersangka.
Oleh Polda DIY, perempuan yang akrab disapa Flo itu dijerat Pasal 311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik dengan ancaman hukuman pidana 4-6 tahun penjara, dan ?Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman hukuman pidana maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda Rp 1 miliar.
Florence membuat heboh SPBU di wilayah Baciro, Lempuyangan, Yogyakarta, Rabu 27 Agustus 2014. Ia marah-marah karena dianggap tak mau ikut mengantre saat mengisi bahan bakar. Saat itu, ia yang mengendarai sepeda motor masuk ke antrean mobil di jalur khusus Pertamax 95. Kekesalannya pun diungkapkan melalui akun Path miliknya dengan kalimat makian-makian yang tak pantas terhadap Yogyakarta yang terkenal dengan sebutan Kota Pelajar tersebut.
"Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja," tulis Florence dalam Path @florenceje, Kamis 28 Agustus 2014. Usai di-bully dan dihujat di linimasa beberapa media sosial, dia pun meminta maaf atas makiannya itu.
Screen shoot permintaan maafnya lalu di-posting oleh akun Twitter @swaragamafm Kamis, 28 Agustus 2014 pukul 8.36 AM dalam bentuk attachement image.
"Florence Sihombing memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat Jogja via akun Path-nya juga. #FlashBreak."
Adapun Koalisi Masyarakat Sipil merupakan gabungan dari beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di antaranya Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Kontras), ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), SafeNet, PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Elsam, LBH Jakarta, YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), ICT Watch, PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia), Pil-Net, Arus Pelangi, Mappi (Masyarakat Profesi Penilai Indonesia), LeiP, ILR, dan ILRC (Indonesian Legal Resource Center).
Baca juga:
Koalisi Masyarakat Sipil: Penahanan Florence Sihombing Berlebihan
Dalami Kasus Florence, Polisi Mengaku Butuh Pendapat Psikolog
Florence Sihombing dan Rinada, Ironi di Dunia Maya