KPAI: Ada Siswa SMA 70 Dikeluarkan Bukan Karena Bullying

Kejadian bullying senior terhadap adik kelas ini terjadi saat masa orientasi.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 30 Sep 2014, 03:45 WIB
Diterbitkan 30 Sep 2014, 03:45 WIB
Bullying
(Ilustrasi/Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) membeberkan fakta baru terkait 13 murid SMA 70 Bulungan, Jakarta Selatan yang dikeluarkan karena diduga melakukan bullying (perundungan). Lembaga tersebut menjelaskan tidak semua murid yang dikeluarkan tersebut merupakan pelaku bullying atau kekerasan.

"Dari 13 ada yang tidak terkait kasus bullying," jelas Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh di Jakarta, Senin (29/9/2014).

Asrorun mengungkapkan di antara 13 murid tersebut, terdapat pula anak-anak berprestasi. Misalnya saja ada Ketua OSIS, ketua kelas, dan beberapa murid yang nilainya tidak buruk di sekolah. Mereka dikeluarkan karena melebihi batas poin yang sudah ditentukan.

"Memang ada kelebihan dan tidak semua lakukan bullying, karena poin. Misal karena tidak pakai sepatu atau seragam yang diatur diakumulasikan," ujarnya.

Meski demikian, ada pula beberapa murid yang memang nakal. Di antaranya pernah bersosialisasi di tempat kurang baik, membawa minuman keras dan melakukan bullying. KPAI tidak merinci berapa jumlah pelaku bullying dari total 13 murid tersebut.

Kejadian bullying senior terhadap adik kelas ini terjadi saat masa orientasi. Sebenarnya di SMA 70 tahap pengenalan itu dilakukan oleh pihak guru, untuk mencegah terjadinya bullying. Namun, tanpa diketahui pihak sekolah, dilakukan orientasi sendiri oleh para senior dari kelas 12 terhadap kelas 10. Hal itu dilakukan di lingkungan Gelora Bung Karno atau GBK pada Juli lalu.

"Kita tidak bisa merinci berapa-berapanya. Dalam proses pembuktian, ini terjadi dugaan di luar. Tepatnya di GBK. Guru tidak ada dan tak ada yang menyaksikan," jelas Asrorun.

Asrorun menegaskan pemberlakukan sistem poin tidak bisa menggunakan asas hitam putih. Alasannya, dunia pendidikan berbeda dengan penjara atau lembaga permasyarakatan.

"Mekanisme penegakan tatib tidak bisa dilepaskan konteks akademik. Tidak pakai seragam, lalu nggak bisa kena poin sekarang. Bisa ditanya kenapa? Bisa saja sobek. Harus dalam ranah edukasi, bukan hitam putih," tandas Asrorun.

Sistem Poin Perlu Dibenahi



Anggota Komite SMA 70 Bulungan, Jakarta Selatan, Masdulhak mengungkapkan sistem poin yang diterapkan perlu perbaikan. Alasannya, pemberian poin dilakukan tanpa mengetahui secara pasti latar belakang terjadinya pelanggaran.

"Tidak mau tanda tangan berita acara perkara atau BAP kena 50. Hadir (saat tindakan bullying terjadi) saja kena 50. Ini arogansi. Siswa nggak ngerti dan menolak tanda tangan malah dibilang membangkang," ujar Masdulhak.

Menurut dia, pembuatan BAP seharusnya siswa tidak sendiri, melainkan harus didampingi. Ia membandingkan dengan seorang tersangka dalam kasus tertentu pasti didampingi pengacara.

"Kalau sekolah mau buat tatib harus libatkan 3 pokok, guru, murid dan orangtua. Dalam kasus, juga bap dibuat ditemani pengacara, ini baru fair," ucapnya.

Anggota Komite SMA 70 lainnya, Ricky Setiadi menuturkan pihak KPAI harus merehabilitasi para murid, khususnya kelas 12 karena tak lama lagi menyambut Ujian Nasional atau UN. Rehabilitasi harus dilakukan, fokusnya pada pemberlakukan sistem poin.

"Saya minta concern KPAI untuk kawal. Mereka resah takut salah, senggol takut kena poin. Hadapan muka dan anaknya lapor, bisa kena poin. Ini yang harus dievaluasi," tegas Ricky.

Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh pun mengatakan pihaknya siap mengawal agar edukasi semua murid di SMA 70 tidak terganggu. "Ini lembaga pendidikan bukan lembaga lain, tugas sekolah beri edukasi," tandas Ricky.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya