Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah seniman muda berkumpul pada awal 1950-an. Mereka hendak mempersoalkan kebudayaan Indonesia pascakemerdekaan.
Untuk menindaklanjuti orientasi itu, para seniman muda ini kemudian mengeluarkan 'Surat Kepercayaan Gelanggang' pada 18 Februari 1950. Isinya menyikapi persoalan kebudayaan sekaligus‎ menunjukkan orientasi kebudayaan mereka.
"Mereka memperkuat, bahkan mengembangkan pendapat Sutan Takdir Alisjahbana. Bahwa orientasinya bukan ke Barat saja, tapi mendunia," ‎tulis Asep Sambodja dalam bukunya Historiografi Sastra Indonesia 1960-an.
‎Cuma selang 6 bulan kemudian, tepatnya 17 Agustus 1950, lahir organisasi resmi yang fokus pada bidang budaya. Namanya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Nama-nama besar di Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah penggagas dari lahirnya Lekra. Sebut saja DN Aidit, MS Ashar, dan AS Dharta. ‎Meski ada orang-orang itu, namun mayoritas anggota Lekra bukan berasal dari PKI.
‎Sejak 'mengudara' setelah 10 tahun kelahirannya, Lekra menjadi 'penguasa' dalam dunia kebudayaan Indonesia, khususnya kesusastraan. Apalagi, Lekra memang dikenal dekat dengan PKI dan kekuasaan Orde Lama di bawah kepemimpinan Sukarno.
Pada 1960 itu, selain Lekra ada 3 kelompok ‎sastrawan lainnya. Sastrawan Manifes Kebudayaan, sastrawan yang berafiliasi pada partai politik, dan sastrawan independen. Namun, perseteruan meruncing hanya menyisakan Lekra dan Manifes yang bertarung pada tataran ideologi dan paham yang dianut.
"2 kelompok lain cenderung bersimpati pada Manifes Kebudayaan," kata sastrawan sekaligus dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini.
‎Perseteruan kedua kelompok sastrawan ini juga berujung pada karya-karya yang mereka lahirkan. Pengaruh kedekatan dengan kekuasaan, membuat Lekra 'meminjam' tangan penguasa untuk membungkam sastrawan Manifes. Hasilnya, Sukarno melarang Manikebu pada 8 Mei 1964. Termasuk karya-karya sastra mereka dilarang beredar. Alasan pelarangan itu, karena Manifes dianggap kontrarevolusi.
‎Dari sinilah, dunia kesusastraan Indonesia memasuk‎i masa-masa paling kelam dalam sejarahnya. Sebab, hanya berselang kurang lebih setahun, meletuslah peristiwa yang juga tak kalah suram dalam sejarah Ibu Pertiwi. Peristiwa 30 September.
PKI dituding sebagai dalang di balik penculikan 6 jenderal plus 1 perwira muda tentara Angkatan Darat dalam peristiwa itu. Dampaknya, PKI kemudian harus dibumihanguskan. Termasuk semua yang berkaitan dan berafiliasi dengan partai 'Palu dan Arit' itu. Tak terkecuali Lekra.
Hal yang dirasakan Manifes dirasakan pula oleh para sastrawan Lekra pascaperistiwa yang membawa Jenderal Soeharto dari Pangkostrad menjadi Presiden ke-2 Indonesia itu.
Bandul Berbalik
Manifes semacam berbalik menjadi 'penguasa' atas dunia kesusastraan Indonesia. Seiring dengan Soeharto menjadi penguasa Tanah Air selama 32 tahun.
Ajip Rosidi dalam Laut Biru Langit Biru mengibaratkan ‎keadaan itu sebagai bandul pada lonceng. Yang tadinya menimpa sisi yang satu pada lonceng sampai menimbulkan bunyi, kini berbalik menimpa sisi yang satunya lagi dengan menimbulkan bunyi yang serupa.
"Demikianlah hukum bandul lonceng‎," kata Ajip.
Ajip menyebut, setelah satu ekstremitas yang hanya mengakui realisme-sosialis sebagai paham--yang digenggam Lekra, kini meloncat pada ekstremitas lain yang hanya mengakui dan menghargai karya-karya yang bersifat eksperimental saja. Ya, tak ada peredaran karya-karya sastra ciptaan para sastrawan Lekra selama Orde Baru berkuasa.
Berbeda dengan karya-karya sastrawan Manifes--yang bebas beredar di toko buku, dibaca, dan menjadi koleksi perpusatakaan-perpustakaan sekolah--semua karya sastrawan Lekra dilarang 'keluar'. Bahkan untuk sekadar mejeng di etalase-etalase toko buku saja haram hukumnya. Lebih dari itu, banyak karya mereka yang dirampas oleh aparat dan dibakar.
Advertisement
Soal perampasan dan pembakaran itu tanyakan saja pada Pramoedya Ananta Toer, novelis 'nyaris' peraih Nobel. Pram tak bisa berbuat banyak saat menyaksikan karya-karyanya dirampas atau dibakar dari perpustakaan pribadinya di rumahnya saat penangkapan pada 13 Oktober 1965. Sedikitnya ada 8 naskah tulisan yang belum sempat diterbitkan tak luput disita, tak diketahui nasibnya sampai sekarang.
Advertisement
Inilah masa paling kelam bagi kesusastraan Indonesia yang menenggelamkan 'harta karunnya' dan membuat rugi kesusastraan Indonesia itu sendiri. Seperti Asep tulis:
"Ada yang hilang dalam sejarah sastra Indonesia 1960-an itu, yakni aset budaya yang luar biasa. Dan alangkah ruginya kita jika karya sastra yang telah dihasilkan oleh sastrawan-sastrawan Lekra itu dibiarkan tetap berada di kamar‎ yang tertutup rapat dan terlarang. Yang makin lama akan lenyap dimakan rayap."