Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqqodas mengatakan, pihaknya belum menggelar ekspose atau gelar perkara terhadap Ketua DPR Setya Novanto. Sehingga, surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) atas nama Setya itu palsu.
‎"Sprindik itu palsu. Wong KPK belum melakukan ekspose. Kalau ekspose belum ada, ya tidak ada sprindik. Intinya itu tidak benar," kata Busyro usai diskusi calon pimpinan KPK di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2014).
Busyro mengatakan, kemungkinan ‎pihaknya akan menelusuri beredarnya sprindik atas nama Setya itu. Namun, bisa juga tidak ditelusuri. "Lihat saja nanti," kata dia.
Busyro menegaskan, keluarnya sprindik setelah tim penyidik melakukan ekspose atas suatu kasus yang ditangani. Selama itu belum dilakukan, maka sprindik‎ belum dikeluarkan.
‎"Sprindik itu ada jika ekspose dari pimpinan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka," ujar dia.
Dokumen mirip sprindik KPK dengan tersangka Setya Novanto beredar Selasa pagi. Sprindik yang ditandatangani pada 25 September 2014 itu diterima Liputan6.com via e-mail dengan pengirim bambang.sukoco23@gmail.com.
Dalam dokumen itu juga tertulis nama 4 penyidik KPK yang menangani kasus tersebut, yakni Endang Tarsa, Bambang Sukoco, Heri Muryanto, dan Salmah untuk melakukan penyidikan.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto tidak mempermasalahkan beredarnya salinan dokumen mirip surat perintah penyidikan (sprindik) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.
"Tidak ada masalah soal sprindik, itu kan masukan. Jadi kita terima saja," jelas Setya di Gedung Parlemen, Selasa 7 Oktober 2014.
Berikut isi dokumen yang beredar tersebut:
"Melakukan penyidikan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait dengan proses perencanaan dan pelaksanaan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasioanl (PON) XVIII di Riau yang dilakukan oleh tersangka Setya Novanto selaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi."
Pada kasus korupsi PON itu, mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal dinyatakan terbukti memerintahkan pemberian suap ke anggota Pansus Lapangan Menembak PON Riau senilai Rp 900 juta. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pekanbaru juga menyatakan Rusli terbukti memerintahkan pemberian suap Rp 9 miliar ke Kahar Muzakkir dan Setya Novanto sebagai anggota DPR.‎ (Mut)
Advertisement