Ditetapkan Buron, Tersangka Korupsi Baju Koko Dicekal Kejati Riau

Terkait langkah pencekalan tersangka dugaan korupsi baju koko, Kejati Riau akan berkoordinasi dengan Kanwil Kemenkumham Riau.

oleh M Syukur diperbarui 22 Okt 2014, 00:33 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2014, 00:33 WIB
Borgol
Ilustrasi (Istimewa)

Liputan6.com, Pekanbaru - Setelah ditetapkan menjadi buronan karena tak pernah mengindahkan panggilan penyidik, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau berencana mencekal tersangka dugaan korupsi baju koko, Firdaus.

"Langkah itu diambil untuk mempermudah penangkapan tersangka," ujar ketua tim penyidik dugaan korupsi baju koko, Satria Abdi di Pekanbaru, Riau, Selasa (21/10/2014).

Sebagai penyidik, Satria berjanji akan segera menangkap Bendahara Partai Golkar Kabupaten Kampar itu. Pihaknya saat ini sudah menyebar anggota untuk mencari keberadaan Firdaus.

Terkait langkah pencekalan, Satria mengaku, akan berkoordinasi dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) Riau.

"Akan kita koordinasikan. Saat ini masih menunggu surat dari atasan (Kajati)," ucap dia.

Kasi Penkum dan Humas Kejati Riau Mukhzan sebelumnya menyebutkan, Firdaus sudah berulang kali dipanggil, untuk dimintai keterangannya sebagai tersangka. Namun, panggilan itu tidak pernah diindahkan.

Menurut penyidik, Firdaus masih berada di Kabupaten Kampar. Posisi persisnya belum bisa dijelaskan, dengan alasan untuk mempermudah penangkapan.

Dalam kasus baju koko, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kampar Asril Jasda juga terseret program Bupati Kampar Jefry Noer itu. Berbeda dengan Firdaus, dia memenuhi panggilan penyidik untuk diperiksa.

"Pernah juga mangkir, tapi hanya sekali.  Panggilan kedua ia memenuhi panggilan penyidik dan diperiksa sebagai tersangka," ucap Mukhzan.

Dalam melengkapi berkas, penyidik Kejati Riau sudah memeriksa puluhan camat dan mantan camat di Kabupaten Kampar. Puluhan panitia pemeriksa baju koko juga sudah dipanggil untuk diperiksa secara bersamaan.

Menurut Mukhzan, kasus ini merugikan negara sekitar Rp 800 juta. Pengadaannya menuai masalah karena diduga terjadi mark-up atau penggelembungan harga koko dari nilai aslinya, dan jumlah yang diadakan tidak sesuai kontrak. (Ado)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya