Liputan6.com, Jakarta - Basuki Tjahaja Purnama berdiri di tengah-tengah hamparan karpet merah, disaksikan para hadirin di Istana Negara, Jakarta. Di depannya berdiri kokoh sebuah mikrofon. Dan di balik mikrofon, seorang pria berpeci serta berjas hitam siap membacakan keputusan terkait dirinya. Di sanalah Ahok -- sapaan khasnya -- berdiri mematung.
Sesekali senyum tersungging di bibir Ahok yang telah lengkap mengenakan pakaian kebesaran serba putih, dari sepatu hingga topi. Lalu tiba saatnya pria berpeci hitam membacakan titahnya. Sang Presiden, Jokowi memutuskan, mulai 19 November 2014, Ahok adalah Gubernur DKI Jakarta.
"Saya berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai gubernur dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti pada masyarakat nusa dan bangsa," kata Ahok siang itu.
Advertisement
"Semoga Tuhan menolong saya," imbuh dia.
Masih terngiang di benak Ahok betapa dulu dia dan Jokowi pernah berjuang merebut hati warga Jakarta untuk bisa menduduki kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012 lalu. Betapa tak mudahnya menyentuh hati setiap dari mereka.
Pun begitu ketika keduanya akhirnya menduduki Balaikota, Jakarta. Kaum buruh, warga di permukiman liar, pedagang kaki lima (PKL), pegawai negeri sipil (PNS), DPRD DKI Jakarta, pemerintah pusat, pihak swasta, semua tanggung jawab itu dibagi dan dihadapi berdua.
Lalu kini Jokowi berada di hadapannya sebagai Presiden. Pria di hadapannya itu pula yang melantiknya untuk menduduki posisi yang ditinggalkan, Gubernur DKI Jakarta.
"Ini kayak keajaiban dunia. Dulu dilantik sama-sama dan sekarang saya dilantik Bapak (Jokowi)," ucap Ahok girang di Istana Negara, Jakarta, Rabu (19/11/2014).
"Kata Pak Jokowi 'Mana kita tahu akan jadi begini'," tutur Ahok sambil tersenyum lebar.
Setelah pengambilan sumpah, keduanya kemudian berfoto bersama didampingi istri dan deretan tokoh. Ahok mengambil posisi di sebelah kiri. Berturut-turut di sebelah kanan Ahok adalah Jokowi, Ibu Negara Iriana Jokowi, istri Ahok yakni Veronica Tan, Wapres Jusuf Kalla atau JK, istri JK yakni Mufidah Kalla, kemudian Megawati.
Bicara soal pelantikan Ahok, dia adalah gubernur pertama yang dilantik Jokowi sejak resmi menyandang status sebagai Presiden pada 20 Oktober 2014 lalu. Dia juga Gubernur DKI Jakarta yang kedua yang dilantik di Istana Negara setelah mendiang Ali Sadikin.
Banyak doa yang mengalir untuk Ahok dan jabatan yang baru disandangnya itu. Termasuk dari keluarga. Ibunda, Buniarti Ningsih yang hadir dalam pelantikan, mengutarakan harapannya agar putranya itu tak korup. Meski Ahok telah menjadi orang nomor 1 di DKI, namun bagi Buniarti, belum ada yang bisa dibanggakan.
"Masih ada orang miskin (di Jakarta). Saya belum bangga. Kalau semua makmur saya bangga," ujar Buniarti.
Tak beda dengan ibunda, adik Ahok, Basuki Tjahaja Purnama berharap sang kakak langsung 'tancap gas' bekerja menata Jakarta menjadi lebih baik.
Dia bahkan ogah memberikan selamat pada sang abang. "Aku belum mau ucap selamat sekarang. Saya mau beri selamat kepada Abang, bila beliau menunjukkan kepada warga DKI, kalau telah berhasil menata Jakarta," ucap pria yang karib disapa Yuyu itu.
Sementara itu, Ahok telah berpindah ruang kerja. Dari ruang wagub di lantai 2 Balaikota, pria kelahiran Manggar, Belitung Timur itu kini menempati ruang bekas Jokowi.
Sambil duduk dan membenahi beberapa dokumen, Ahok merasakan empuknya kursi kerja yang sebelumnya digunakan Jokowi. Kursi kerja saat ini dirasa lebih nyaman dibanding kursi kerja di ruang wakil gubernur.
Ke depan, Ahok ingin menjadi seperti gubernur idolanya, Ali Sadikin. Guna mewujudkan cita-citanya membangun ibukota, Ahok rela waktunya dengan keluarga berkurang. Keluarga dan masyarakat diminta tidak perlu khawatir dengan pikiran serta tenaganya.
"Saya berharap saya juga begitu (seperti Ali Sadikin). Begitu saya turun, saya sudah bisa wujudkan Jakarta baru yang memang dicita-citakan presiden," ucap Ahok.
Penolakan
Pelantikan Ahok bukannya tanpa aral. Protes terhadap pelantikan Ahok tak kunjung redam, meski pelantikan sudah di depan mata. Siang tadi, fraksi-fraksi DPRD DKI Jakarta yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) DKI Jakarta menggelar rapat dengan Komisi II DPR.
Kedatangan mereka dalam rangka mengonsultasikan perihal prosedur pelantikan Ahok. Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Muhammad Taufik, menuding Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri melakukan rekayasa terhadap prosedur pelantikan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Tudingan itu didasarkan dari surat dari Dirjen Otda Kemendagri kepada DPRD DKI perihal mekanisme pengangkatan Ahok dari Wakil Gubernur menjadi Gubernur.
Di situ disebut bahwa dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 203, 'Dalam hal kekosongan gubernur/bupati/walikota yang diangkat berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, wagub/wabup/ menggantikan gubernur/bupati sampai dengan berakhir masa jabatannya'. Namun, untuk pengisian kekosongan jabatan Wagub DKI menunggu aturan lebih lanjut.
Sementara Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Haji Lulung menduga, ada konspirasi pemerintah agar Ahok segera diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta melalui surat Dirjen Otda Kemendagri.
"Surat ini terlihat sekali konspirasi dan diskriminasi. Saya melihat tanda-tanda Kabinet Kerja ke depan otoriter," ucap Lulung.
Menurut dia, menyangkut pelantikan Gubernur DKI Jakarta seharusnya didasarkan pada UU Nomor 29 Tahun 2007 yang mengatur pemilihan gubernur. Di dalamnya juga disebut bahwa gubernur dipilih secara demokrasi.
Namun, menurut Lulung, dalam surat Dirjen Otda itu menggunakan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Tanpa menyebutkan UU Nomor 29 Tahun 2007.
"Padahal UU 32 hanya mengatur persoalan adminis. Kemudian Gubernur DKI Jakarta itu sesungguhnya diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2007. Karena UU 32 di luar UU DKI," jelas Lulung.
Sehingga dia menilai surat yang dikeluarkan Kemendagri bertentangan dengan UUD bahwa kepala daerah dipilih secara demokrasi. Lulung mengatakan, artinya apabila Ahok ingin mengisi jabatan Gubernur DKI Jakarta, maka pemilik nama Basuki Tjahaja Purnama itu harus berhenti terlebih dulu sebagai Wagub. Baru kemudian dipilih secara demokrasi.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR Yandri Susanto menyarankan KMP di DPRD DKI Jakarta untuk menggugat pelantikan Ahok ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bila ternyata gugatan DPRD DKI dikabulkan PTUN, sambung Yandri, maka menurut jabatan Ahok sebagai Gubernur otomatis bisa dicabut.
"Saya sarankan DPRD mem-PTUN-kan pelantikan hari ini. Kemudian minta fatwa Mahkamah Agung," ujar politisi PAN itu.
Sedangkan Ahok bukannya tak tahu dengan aksi penolakan ini. "Itu nggak apa-apa," ucap dia 13 November 2014 lalu.
Nah, lalu bagaimana aksi Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta ke depannya? Akan seperti apa pula Jokowi dan Ahok saling mendukung pemerintahan satu sama lain? Kita nantikan saja... (Ndy/Riz)