Liputan6.com, Jakarta - DPR bersama pemerintah berencana merevisi beberapa pasal dalam Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Namun, permasalahan muncul ketika dalam pembahasan revisi tersebut tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Wakil Ketua DPD Farouq Muhammad menyayangkan sikap DPR dan pemerintah yang tidak melibatkan lembaganya dalam pembahasan revisi tersebut.
"Substansinya kami khawatir apa yang kita perjuangkan selama ini tidak terakomodir," kata Farouq saat memberikan konferensi pers di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (23/11/2014).
Padahal, menurut Farouq, dalam keputusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 dan Pasal 2D Undang-undang Dasar 1945 terkait Permohonan Pengujian Undang-undang, DPD dilibatkan dalam pembahasan UU melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
"MD3 itu masuk kategori UU yang harus dibahas dengan DPD. Materi UU itu juga menyangkut DPD. Kita juga mau DPD diikutsertakan, karena UU itu juga mengatur DPD," tambah Farouq.
Revisi Versi KIH dan KMP
Adanya revisi terhadap UU MD3 merupakan buah kesepakatan damai antara Koalisi Merah Putih (KMP) dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Dari 5 butir kesepakatan kedua kubu, salah satunya menyatakan soal revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Kesepakatan itu berbunyi: Bersepakat dan setuju melakukan perubahan ketentuan terhadap Pasal 74 Ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) serta pasal 98 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta ketentuan Pasal 60 ayat (2) ayat (3) dan ayat (4) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib untuk dihapus, karena pasal-pasal tersebut secara substansi sudah diatur pada Pasal 79, Pasal 194 sampai dengan Pasal 227 Undang-Undang MD3 Nomor 17 Tahun 2014.
Pasal-pasal tersebut terkait dengan kewajiban pejabat negara atau pejabat pemerintah untuk menaati rekomendasi dari DPR serta sanksi dan penggunaan hak DPR terhadap pejabat atau pemerintah yang mengabaikan rekomendasi tersebut. (Ado/Yus)