'Maju Mundur Cantik' Ala Jokowi

Program Giant Sea Wall, yang bertujuan mencegah tenggelamnya ibukota Jakarta akan dikaji ulang. Ada apa?

oleh Arthur Gideon diperbarui 29 Des 2014, 19:20 WIB
Diterbitkan 29 Des 2014, 19:20 WIB
Aksi Damai Tolak Giant Sea Wall
Seorang pengunjuk rasa tampak memakai penutup wajah yang bertuliskan tolak Giant Sea Wall, Jakarta, (15/10/14).(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - “Maju mundur, maju mundur, cantik. Mundur lagi, mundur lagi, cantik” tutur Syahrini dalam video yang diunggah dalam akun Instagramnya saat mengunjungi menara Eiffel di Paris, Prancis. Sontak, apa yang dilakukan oleh penyanyi yang sering membuat sensasi ini langsung menghebohkan jagat maya.

Apa yang dilakukan oleh Syahrini mungkin juga sedang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam program Giant Sea Wall. Ceritanya, saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi ngebet untuk membangun tanggul raksasa ini.

Proyek yang sebenarnya sudah digagas oleh Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo ini direncanakan bakal dibangun pada 2020. Untuk Studi kelayakan dari proyek tersebut baru akan dimulai pada 2014. Namun, saat Jokowi menduduki jabatan gubernur DKI Jakarta, ia ingin segera memulai proyek tersebut sesegera mungkin.

"Kami ingin pembangunannya dipercepat. Pokoknya tahun 2013 studinya rampung sehingga tahun 2014 sudah ada pemasangan tiang pancang atau ground breaking," mantan walikota Surakarta tersebut usai menggelar rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pada medio Maret 2013 lalu.

Alasan yang mendasari Jokowi ingin segera melaksanakan proyek raksasa ini karena jika tak segera dibangun, Jakarta bakal tenggelam. Dalam kajian yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, land subsidence atau penurunan muka tanah di Jakarta Utara yang terjadi dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan yaitu 7,5 cm per tahun.

Jokowi pun mempunyai angan-angan yang cukup tinggi. Menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jokowi merencanakan untuk pembangunan bandara di antara pulau-pulau yang akan mengelilingi tanggul raksasa.

"Pak Jokowi ingin ada airport di situ. Letaknya di antara 17 pulau atau di sisi Timur. Kami lagi lihat kelayakannya seperti apa karena sesuai rencana induk Kemenhub tidak ada airport di sana. Nanti kami lihat keputusannya di pemerintahan baru," tutur Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas, Dedy S Priatna, pada September 2014 lalu.    

Karena desakan dari pemerintah provinsi DKI Jakarta tersebut, pemerintah pusat pun segera ngebut melakukan studi kelayakan. Akhirnya, di penghujung masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau tepatnya pada Oktober 2014, pemasangan tiang pancang tanggul raksasa pun dilakukan.

Pembangunan tanggul raksasa tersebut dilakukan dalam beberapa tahap. Mulanya akan dilakukan pengerjakan tanggul tahap pertama atau Seksi A  sepanjang 32 kilometer dari barat hingga timur pesisir utara Jakarta. Proyek tanggul ini ditargetkan rampung dalam waktu tiga tahun.

Selanjutnya, akan dilanjutkan tahap kedua‎ yaitu pembangunan tanggul di laut sebelah barat, pembangunan kolam air tawar, membangun konektifitas dan memperbaiki kondisi lingkungan yang masih rusak.

Sedangkan untuk tahap terahir atau ketiga akan dilakukan pengembangan tanggul laut di sebelah timur, membangun zona ekonomi pelabuhan, membangun lingkungan baru dan pengolaan limbah padat.

Kaji Ulang

Kaji Ulang

Namun tiba-tiba, setelah menginjakkan kaki di Istana Negara, Jokowi beralih haluan. Ia tak segera mendorong pembangunan proyek yang mencegah ternggelamnya ibukota tersebut, tetapi justru akan dikaji ulang.

Dalam rapat koordinasi yang diikuti oleh Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heriawan, Plt Gubernur Banten Rano Karno dan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani yang dilakukan pada 9 Desember 2014 lalu, mengisyaratkan jika pembangunan tanggul raksasa tersebut harus kembali dikaji dari hulu sampai dengan hilir. Proyek yang sudah maju tersebut ternyata harus mundur lagi.

Dalam rapat yang juga dihadiri oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof A Chaniago tersebut memutuskan untuk pembangunan tahap pertama memang harus dilakukan.

"Tahap I harus tetap dibangun apapun yang terjadi. Mau ada tanggul raksasa atau tidak, tahap I harus ada. Kalau tidak, Jakarta Utara banjir kena air rob. Makanya ditinggikan tanggulnya, kalau tidak bahaya, Jakarta Utara kerendem," jelas Ahmad Heriawan.

Nah, lanjut pria yang sering disapa dengan sebutan Aher tersebut, pengkajian ulang akan dilakukan untuk tahap kedua dan ketiga. "Kritikannya khawatir kalau tidak holistik, tidak utuh pembangunannya dari hulu sampai hilir, nanti yang berkelanjutan proyek pembangunannya bukan manfaatnya," terangnya.

Senada, Menteri Riset dan Teknologi Muhammad Natsir mengatakan, pembangunan tanggul raksasa mesti terintegrasi dari hulu sampai hilir. “Sedang menunggu kajian. Kita harus terintegarasi. Proyek itu hulunya bagaimana karena sekarang baru ada kajian parsial, bagaimana mengatasi masalah 13 sungai yang ada di DKI Jakarta," ungkap dia.

Artinya, pemerintah akan mempelajari kembali konsep dan desain untuk tahap kedua dan tahap ketiga. Sementara untuk tahap pertama yaitu pembangunan dinding penahan air sepanjang 33 km tetap berlanjut sebagai penyelamat Jakarta. 

Kritik Luas

Kritik Luas

Memang, selama ini proyek pembangunan tanggul raksasa tersebut terus menuai kritik dari berbagai kalangan. Kritik terkeras dilakukan oleh PT PLN (Persero). Direktur PLN, Murtaqi Syamsuddin mengatakan, ada dua fasilitas Pembangkit Listrik Gas Uap (PLTGU) yaitu PLTGU Muara Karang dan Tanjung Priok berkpasitas total 4.000 Mega Watt yang dekat dengan proyek Giant Sea Wall. "Itu tulang punggung pasokan listrik Jakarta," serunya.

Murtaqi mengungkapkan, kedua pembangkit tersebut sangat bergantung pada pasokan air laut sebagai media pendinginan. Artinya bila proses pendinginan tersebut terganggu akan menimbulkan dampak penurunan kinerja pembangkit.

Menurutnya, pembangunan Tanggul Raksasa Laut untuk mencegah banjir rob tersebut harus dilakukan dengan hati-hati. Pasalnya akan berakibat fatal jika kinerja kedua pembangit ini terganggu. "Kalau pembangkit itu, pada DKI kehilangan 4 ribu mw apa gunanya pembangunan kalau tidak punya listrik. Ini perlu hati-hati," tambah dia.

Oleh karena itu, PLN pun meminta agar pemerintah pusat melibatkan mereka dalam merencanakan pembangunan tanggul raksasa tersebut, agar tidak mengganggu aktifitas pembangkitan. "Harapannya dalam desain pelaksanaannya hati-hati karena itu desainnya koordinasi dengan PLN jangan sampai kedua pembangkit itu terganggu," tuturnya.



Selain PLN, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta juga menolak pembangunan tanggul raksasa tersebut. Walhi menilai bahwa pembangunan giant sea wall bukan solusi untuk mengatasi banjir di wilayah utara Jakarta.

Dewan Daerah Walhi Jakarta, Ubaidillah menyatakan bahwa banjir rob dan masalah perairan di teluk Jakarta merupakan konsekuensi dari kesemrawutan tata kelola sumber daya dan penataan ruang kawasan pesisir Jakarta.

"Selain rob, masalah lainnya yang ada di teluk Jakarta, adalah seperti fenomena perubahan iklim dan kenaikan muka air laut, abrasi pantai, sampah dan limbah, serta instrusi air laut," kata tuturnya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya