Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tengah berupaya keras untuk mengurai kemacetan di Ibukota. Berbagai langkah dilakukan, salah satunya dengan memberlakukan larangan sepeda motor melintas kawasan Jalan MH Thamrin hingga Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Bagi yang melanggar atau nekat melintasi jalan yang kerap dipadati kendaraan tersebut, maka si pengendara bakal didenda.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Pasal 287 ayat 1, pengendara motor yang melewati kawasan ini akan dikenakan denda Rp 500 ribu.
Rambu larangan telah dipasang pada persimpangan di sekitar ruas jalan yang ditutup. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berharap warga beralih menggunakan transportasi umum yang disediakan seperti bus Transjakarta.
Pemberlakuan larangan yang berlandaskan pada Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor ini diberlakukan secara bertahap. Diawali dengan tahap uji coba pada Desember 2014, di mana para pengendara motor yang melintas kawasan terlarang tersebut bakal ditegur. Saat uji coba tersebut, sejumlah pengendara motor tampak kebingungan lantaran masih belum tahu soal aturan tersebut.
Hingga pada akhirnya, Pemprov DKI Jakarta di bawah kendali Ahok mulai memberlakukan secara resmi aturan larangan sepeda motor di sepanjang jalan protokol pada Minggu 18 Januari 2015 lalu.
Pada hari tersebut, atau hari pertama larangan, ada sebanyak 208 sepeda motor yang ditilang. Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Hindarsono mengatakan, pihaknya terpaksa menilan ratusan pengendara motor tersebut lantaran sebagian besar di antaranya nekat melintas meski sudah diberitahu petugas.
"Kami sudah lakukan sosialisasi selama sebulan, saya yakin semua pengendara sepeda motor sudah tahu. Jadi yang kena tilang ini yang pada nekat saja," ujar Hindarsono.
Pada hari Senin 19 Januari 2015 atau hari kedua pemberlakuan larangan, masih ada pengendara yang melanggar. Salah satunya seorang wanita yang sempat menitikkan air mata saat ditilang.
Berbagai macam alasan juga diutarakan para pengendara motor, mulai dari tidak tahu adanya peraturan ini sampai mereka ragu apakah pelarangan sepeda motor di Jalan MH Thamrin diberlakukan sampai 24 jam. Namun pihak kepolisian tidak memberikan toleransi apapun, karena peraturan ini telah disosialisasikan sejak 17 Desember 2014 hingga 17 Januari 2015. Hasilnya sebanyak sedikitnya 20 pengendara sepeda motor ditilang.
Kemudian pada hari ketiga, atau Selasa 20 Januari 2015, sejak pagi hingga siang, setidaknya ada 10 pengendara sepeda motor yang ditilang polisi di Bundaran HI. Kebanyakan pengendara mengaku tidak tahu atau lupa. Ada juga pengendara yang ditilang ini kaget karena denda tilang yang harus dibayar mencapai Rp 500 ribu.
Advertisement
Protes
Peraturan yang dikeluarkan Ahok ini menuai protes dari sejumlah pihak. Salah satunya dari FrontJak, organisasi perkumpulan tukang ojek di Jakarta. Mereka mengancam akan menggulingkan Ahok jika tetap memberlakukan larangan sepeda motor. Aturan ini telah membawa Ahok ke dalam sebuah sengketa dirinya dengan tukang ojek, setelah sebelumnya Pak Gubernur sempat bertikai dengan tokoh Ibukota, seperti Haji Lulung.
"Kita akan kerahkan ribuan tukang ojek, tidak hanya yang dari (Jakarta) Pusat, tetapi juga dari Timur, Selatan, Barat, Utara. Kita turunkan Ahok," seru salah satu orator bernama Jamhuri (58), tukang ojek yang biasa mangkal di sekitar Stasiun Sudirman, dalam orasinya di depan Gedung DPRD DKI, 8 Januari lalu.
Mereka berharap Ahok bisa membatalkan niat untuk menambah jalur larangan sepeda motor ke Jalan Sudirman hingga Blok M. Sebab, aturan itu bisa menghilangkan mata pencarian mereka sebagai tukang ojek yang beroperasi di sepanjang jalan tersebut.
"Pelarangan motor hanya menguntungkan orang kaya yang pakai mobil. Sedangkan kita makin tersiksa. Kita harap Pak Ahok tidak melupakan orang kecil seperti kita. Karena apa artinya pejabat tanpa dukungan orang kecil," tambah Didi, tukang ojek yang biasa mangkal di sekitar Halte Tosari, Jalan Sudirman.
Menanggapi ancaman itu, Ahok menegaskan, kebijakan itu akan tetap diberlakukan. Terkait penghasilan tukang ojek yang turun gara-gara larangan itu, Ahok memberi jaminan kesehatan dan pendidikan melalui Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP). Ahok yakin, biaya paling utama adalah 2 hal itu.
"Pokoknya saya garansi kalau anak kamu sakit atau mau sekolah, saya kasih KJS dan KJP. Kalau dia sakit (disuruh) bayar, lapor sama saya. Jadi Anda butuh duit apa lagi sekarang?" ujar Ahok.
Menurut mantan bupati Belitung Timur itu, bukan hanya tukang ojek yang merugi. Jika sepeda motor tetap bisa melintas di jalan-jalan protokol hingga membuat kemacetan, angkutan umum pun akan protes. Sebab, kemacetan bisa membuat pengelola angkutan umum rugi bahkan hingga triliun rupiah. "Makanya sekarang tergantung kan? Jadi nggak usah alasan segala macam," tandas Ahok.
Digugat
Selain diprotes dan diancam digulingkan, Ahok juga digugat. Indonesia Traffic Watch (ITW) mengajukan gugatan judicial review atau uji materi terhadap Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor ke Mahkamah Agung (MA). Pergub itu dikeluarkan Gubernur Ahok guna melarang sepeda motor melintas di Jalan MH Thamrin sampai Jalan Medan Merdeka Barat.
Kuasa Hukum ITW, Ronny Talapessy mengatakan, Pergub itu sangat diskriminatif. Khususnya bagi pengendara sepeda motor. "Kami mewakili para pengendara motor dan para difabel. Mereka dipaksa parkir lalu naik bus. Ini diskriminasi buat kami," ucap Ronny di Gedung MA, Jakarta, Selasa (20/1/2015).
Selain diskriminatif, Ronny menilai, Pergub itu juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Terutama Pasal 133 ayat 2 c, yang mengatur pembatasan hanya dapat dilakukan dalam koridor wilayah dan tempat dalam waktu tertentu dan tidak berlaku 24 jam.
"(Pergub) Itu cenderung arogan. Dalam UU lalu lintas tidak ada yang disebut kata melarang. Pergub itu bertentangan dengan UU Lalu Lintas. Makanya kami judicial review," Saat ini Ronny dan ITW tengah menunggu proses pemberkasan dan registrasi gugatan di MA.
Kata Ronny, ITW menginginkan agar Pemerintah Provinsi DKI menyiapkan transportasi yang aman dan nyaman serta saling terintegrasi untuk mengurai kemacetan ketimbang melarang motor melintas di Thamrin-Medan Merdeka Barat dengan alasan mengurangi kemacetan. "Disiapkan tranportasi aman, nyaman, lancar, terintegrasi. Lagian kemacetan kan penyebabnya banyak," ujar dia.
Lebih jauh Ronny menjelaskan, solusi kemacetan juga bisa dilakukan dengan moratorium kendaraan. Dengan begitu, masyarakat tidak membeli kendaraan. "Ruas jalan sedikit. Langkah satu-satunya ya batasi kendaraan. Jangan kita diperbolehkan membeli tapi kita tidak boleh pakai jalan," ujar Ronny.
Menanggapi gugatan itu, Ahok mengaku tidak masalah. Dia mempersilakan ITW melayangkan gugatan tersebut. "Gugat saja dulu, nggak apa-apa," ucap Ahok.
Bahkan, ia mengaku Pemprov DKI sudah sering digugat oleh sejumlah pihak. Mulai dari sengketa tanah, aset Pemda, hingga kebijakan-kebijakan. Sehingga gugatan ke MA tersebut, dianggap Ahok bukan hal yang menganggu.
Dia mempersilakan Indonesia Traffic Watch (ITW) untuk mengajukan permohonan pengujian materi atau judicial review terhadap Pergub yang ia keluarkan. "Kita sudah biasa digugat, tunggu saja, pasrah," kata mantan Bupati Belitung Timur itu.
Sidang di Tempat
Tak hanya memprotes, sejumlah Warga Jakarta juga mengeluhkan proses pembayaran denda di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain memakan waktu lebih banyak, proses sidang di pengadilan dinilai masyarakat juga tak efisien. Mendengar protes warga, Dirlantas Polda Metro mengusulkan agar penilangan dan persidangan denda bagi para pemotor yang melakukan pelanggaran dapat dilakukan di tempat.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Martinus Sitompul mengatakan, usulan sidang di tempat bertujuan untuk mempermudah pelanggar untuk kembali melanjutkan perjalanannya. "Memang ada usulan itu, nanti sidangnya seperti sidang Tipiring (tindak pidana ringan). Kalau langsung sidang kan lebih singkat, jadi pelanggar tidak harus menunggu sidang lagi," kata Martinus di Polda Metro, Jakarta, Selasa (20/1/2015).
Tetapi pihaknya sadar bahwa usulannya tidak serta merta bisa langsung berlaku di hari ketiga penerapan denda. Masih banyak jalan berliku untuk menerapkan sidang di tempat. Yang pasti, pihaknya harus berkoordinasi dengan pengadilan Jakarta Pusat dan kejaksaan.
"Masih dibicarakan teknisnya, intinya dengan sidang di tempat ini memang memudahkan para pelanggar," tambah dia. "Harus ada kesiapan dari pengadilannya sendiri, personelnya berapa, kesiapan hakimnya bagaimana. Belum lagi perlu meja, nanti dari mana disiapkannya," tutup Martinus Sitompul.
Yang pasti, warga DKI Jakarta sangat mendambakan Ibukota yang bebas dari macet. Apapun strateginya, Pemprov DKI diharapkan menerapkan kebijakan yang paling tepat, adil dan tidak merugikan pihak lain, atau setidaknya ada kompensasi lain untuk mereka yang merasa dirugikan.
Dalam kasus perseteruan antara Ahok dan tukang ojek, pihak Pemprov DKI jelas punya alasan yang masuk akal. Namun, keberatan dari tukang ojek juga sangat manusiawi. Jadi sederhana saja, yang namanya sebuah kebijakan memang sulit untuk bisa memuaskan semua pihak. Kita tunggu saja klaim yang paling benar dari Ahok versus ojek ini. (Riz/Ado)