DPR Setuju Pembelian Alutsista Brasil & Ternak Australia Disetop

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tantowi Yahya mendukung wacana pemerintah menghentikan pembelian alutsista ke Brasil.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 24 Feb 2015, 15:52 WIB
Diterbitkan 24 Feb 2015, 15:52 WIB
Paripurna DPR RI
Suasana dalam sebuah sidang paripurna DPR (Liputan6.com/Fiki Ariyanti)

Liputan6.com, Jakarta - Tindakan Brasil yang menolak memberikan credential atau surat kepercayaan kepada Duta Besar Indonesia Toto Riyanto, membuat hubungan kedua negara memanas. Apalagi setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK berniat mengevaluasi kerja sama bilateral kedua negara terkait pengadaan alutsista.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tantowi Yahya mendukung rencana tersebut. Bahkan, pihaknya sudah menyampaikan wacana itu kepada Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko dalam pertemuan beberapa waktu lalu.

"Ya bisa, bisa banget (menghentikan kerja sama alutsista). Apalagi JK juga sudah setuju dengan semangat itu. Pada saat kami raker dengan Menhan dan Panglima, saya bilang kalau Brasil masih begitu sebaiknya kita evaluasi, dan Panglima setuju," kata Tantowi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (24/2/2015).

Sebagai gantinya, politisi Partai Golkar itu mengatakan, Indonesia bisa bekerjasama dengan negara-negara seperti Ukraina, Belarusia, Rusia, Polandia, bahkan Tiongkok terkait pengadaan alutsista.

Ketua DPP Partai Golkar itu juga mengatakan, Brasil seharusnya khawatir. Selain posisi strategis, Indonesia juga tidak bergantung hanya kepada satu negara dalam kerja sama alutsista. "Kita kan strategis, kita bebas, tidak bergantung pada suatu negara dan mereka tentu melihat itu," tandas Tantowi.

Hubungan RI-Brasil mulai menegang sejak warganya, Marco Archer Cardoso Moreira dieksekusi mati pada 18 Januari 2015 lalu. Dia menjadi terpidana mati setelah dihukum bersalah melakukan perdagangan narkoba.

Pria berumur 53 tahun itu ditangkap pada 2003 lalu setelah polisi di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten menemukan 13,4 kg kokain yang disembunyikan di dalam peralatan olahraga. Akibat eksekusi mati tersebut, Dubes Brasil di Indonesia ditarik Presiden Rousseff sebagai protes atas kematiannya.

Tak hanya menarik dubes, Brasil juga menunjukkan bentuk protes lainnya pada Jumat 20 Februari 2015. Presiden Dilma Rousseff menunda surat kepercayaan Dubes RI untuk Brasil Toto Royanto. Padahal Toto mengantongi undangan resmi dari Palacio do Planalto atau Istana Kepresidenan Brasil.

Langkah Pemerintah Brasil ini sebagai lanjutan protes terhadap eksekusi mati warga Brasil lainnya, Rodrigo Gularte, yang dalam waktu dekat juga dijadwalkan dieksekusi mati di Indonesia atas dasar pelanggaran hukum yang sama.

Sedangkan kerja sama Indonesia-Brasil dalam bidang alutsista, yakni pembelian 16 pesawat tempur Super Tucano dan 32 paket sistem peluncur roket Astros II. Ke-16 Super Tucano dibeli dari perusahaan Embraer dengan total harga US$288 juta atau sekitar Rp 2,9 triliun. Sedangkan 8 pesawat dipesan pada 2004-2009 dan 8 lainnya pada 2009-2014.

Adapun 32 paket Astros II--truk peluncur, alat peluncur, dan misil berbagai ukuran--dibeli dari perusahaan swasta Avibras dengan total harga US$ 404 juta. Kontrak pembelian diteken akhir 2013 dan dikirim ke Indonesia Juni 2014.

Tolak Impor Ternak Asal Australia

Tolak Impor Ternak Asal Australia

Tolak Impor Ternak Asal Australia

Selain Brasil, Indonesia juga kini mendapat intervensi dari Australia ‎terkait warga negaranya yang akan dieksekusi mati, karena terbukti terlibat penyelundupan narkoba di Indonesia.

Wakil Ketua Komisi I Hanafi Rais mengatakan, Indonesia bisa menolak seluruh impor ternak dari negeri Kanguru tersebut, karena berani mengintervensi kedaulatan hukum Indonesia.

Apalagi, lanjut Hanafi, Perdana Menteri Australia Tony Abbott melontarkan pernyataan yang menyinggung Indonesia, dengan meminta Indonesia mengingat kembali bantuan Australia untuk korban tsunami Aceh 2004.

"Terhadap Australia, kalau mereka sudah mengancam serius maka kita juga bisa menolak seluruh hasil ekspor ternak mereka ke Indonesia," kata Hanafi.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menegaskan, sebaiknya Abbott meminta maaf kepada Indonesia karena mengungkit-ungkit bantuan tsunami senilai 1 miliar dollar atau lebih dari Rp 10 triliun.

"Abbott harus minta maaf, karena yang dilakukan Abbott bertentangan dengan norma Asia, yaitu membantu tanpa pamrih. Sementara bentuk protes berupa #KoinUntukAustralia tak bisa dilarang dalam demokrasi. Yang penting tetap nir-kekerasan," tandas Hanafi.

Australia meminta eksekusi mati kedua warganya yakni Myuran Sukumaran dan Andrew Chan dibatalkan Pemerintah Indonesia. Namun Indonesia menolak dan tetap berpegang kepada kedaulatan. Perdana Menteri Australia Tony Abbott kemudian gerah dan mengungkit-ungkit bantuan kepada korban tsunami Aceh senilai 1 miliar dollar atau lebih dari Rp 10 triliun. (Rmn/Ein)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya