Hakim Menangis Saat Putuskan Dualisme PPP, Ini Tanggapan KY

Apakah tangisan Teguh saat membacakan putusan sengketa dualisme PPP termasuk pelanggaran kode etik hakim atau tidak?

oleh Oscar Ferri diperbarui 26 Feb 2015, 02:39 WIB
Diterbitkan 26 Feb 2015, 02:39 WIB
Ilustrasi PPP Retak
Ilustrasi PPP

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Teguh Setya Bhakti menitikkan air mata saat membacakan amar putusan terhadap gugatan mantan Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali atau SDA kepada Kementerian Hukum dan HAM. SDA‎ yang merupakan kubu Djan Faridz itu menggugat Kemenkumham soal pengesahan kepengurusan kubu Romahurmuziy.

Mengenai air mata Teguh itu, Komisi Yudisial (KY) buka suara. Lembaga pengawas hakim itu mengatakan tak mempermasalahkan jika memang hakim menangis. "Boleh saja hakim terharu kan," kata Komisioner KY Eman Suparman di Gedung KY, Jakarta, Rabu (25/2/2015).

Meski demikian, Eman belum mau memastikan apakah tangisan Teguh termasuk pelanggaran kode etik hakim atau tidak. Sebab, dia sendiri belum melihat langsung Teguh menangis saat membacakan amar putusan.

"Kan saya belum lihat pasti faktanya seperti itu (menangis). Jadi belum bisa pastikan ada atau tidaknya ‎(pelanggaran kode etik)," kata Eman.

Sebelumnya, ‎Ketua Majelis Hakim Teguh Setya Bhakti beberapa kali meneteskan air mata ‎membacakan amar putusannya terkait gugatan mantan Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali dari kubu Djan Faridz kepada Kementerian Hukum dan HAM soal pengesahan kepengurusan DPP PPP kubu Romahurmuziy atau Romy. Dengan melampirkan beberapa surat di Alquran, Teguh mengatakan, seharusnya dua kubu bisa bersatu, bukan justru terpecah belah.

"Umat Islam harusnya bersatu. Tidak bercerai berai‎," ujar Teguh sambil menangis di sela pembacaan amar putusan di Gedung PTUN, Jakarta Timur, Rabu (25/2/2015).

Dalam amar putusannya, Teguh menyatakan menerima permohonan gugatan tersebut. Majelis juga menyatakan pengesahan kepengurusan DPP PPP kubu Romy oleh Kemenkumham tidak sah. Dengan begitu, surat pengesahan kepengurusan kubu Romy yang diterima dari Kemenkumham juga dinyatakan batal.

"Mengabulkan gugatan penggugat diterima seluruhnya. Kemudian membatalkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014," kata Teguh saat membacakan amar putusannya.

Dalam pertimbangannya, Majelis berpendapat, Kemenkumham selaku pihak tergugat melakukan intervensi terhadap‎ konflik internal PPP. Sehingga dianggap tidak menimbulkan kepastian hukum. Selain itu, pengadilan juga tidak bisa membiarkan Kemenkumham menerbitkan SK dan kemudian membiarkan masalah ini dengan melemparnya ke PTUN. (Riz)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya