Liputan6.com, Jakarta - Niat baik berujung pidana. Setidaknya inilah yang bisa menggambarkan kondisi mantan wakil Kementerian hukum dan HAM Denny Indrayana. Pada Jumat 27 Maret lalu Denny ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Status hukum ini diumumkan Polri Selasa malam, 24 Maret 2015.
Denny menjadi tersangka terkait kasus Payment Gateway, yakni layanan jasa elektronik penerbitan paspor. Program itu diluncurkan pada Juli 2014 saat Denny menjabat wakil menteri hukum dan HAM. Menurut Denny, program itu bertujuan menghilangkan pungli dan membantu mempermudah proses pembuatan paspor.
Tapi apa daya, Kementerian Keuangan menyebut program itu tidak mengantongi izin. Program itu juga dinilai telah merugikan negara. Denny pun dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Andi Syamsul Bahri, Selasa 10 Januari 2015. Laporan itu tertuang dalam surat bernomor LP/166/2015/Bareskrim.
Advertisement
"Terhadap Profesor DI (Denny Indrayana) telah ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam implementasi pelaksanaan Payment Gateway di Kemenkumham tahun anggaran 2014," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Pol Rikwanto Selasa malam, 24 Maret 2015.
Menurut Kabareskrim Polri Komjen Pol Budi Waseso, ada kerugian negara dalam proyek yang digulirkan Denny itu. "Positif ada kerugian negara dari hasil audit BPK," tegas Budi. Kesimpulan itu dibuat, kata Rikwanto, setelah penyidik mendengarkan keterangan dari 20 saksi.
Banyak pihak menganggap penetapan status tersangka ini terbilang cepat. Apalagi Denny dikenal sebagai penggiat anti korupsi. Namun Denny tak mau menanggapinya. Menurut dia, penetapan tersangka ini bagian dari perjuangan Indonesia yang lebih baik.
Dia juga membantah tudingan yang menyebut proyek Payment Gateway telah merugikan negara. Menurut Denny, tidak ada kerugian negara dalam proyek tersebut. Sebab, berdasarkan hasil audit BPK yang dikeluarkan pada 31 Desember 2014, nilai pengeluaran dan pemasukan sama dengan total Rp 32,4 miliar.
"Sudah ada laporan BPK Desember lalu yang mengatakan negara menerima uang Rp 32,4 miliar. Itu bukan kerugian negara," ucap Denny pada Kamis 12 Maret 2015.
Alasan ini membuat Denny tak gentar menghadapi status hukumnya itu. Pendiri Indonesian Court Monitoring dan Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) menegaskan, siap memenuhi panggilan polisi untuk diperiksa.
"Insya Allah siap karena kami dan seluruh keluarga sudah menyadari ada konsekuensinya melakukan perjuangan Indonesia menjadi lebih bersih. Menjadi Indonesia anti korupsi," ujar Denny di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rabu 25 Maret 2015.
"Saya jalani saja, yang penting yang kami lakukan di Kemenkumham adalah perbaikan pelayanan publik. Saya meyakini khalayak publik bisa menilai ini."
Penetapan status Denny sebagai tersangka sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebab, Rikwanto sebelumnya pernah mengatakan, penyidik sudah menemukan titik terang dan unsur pidana kasus tersebut sangat kuat sehingga bukan tidak mungkin Denny bisa menjadi tersangka.
Bahkan Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Pol Anton Charliyan pada Kamis 19 Maret lalu memastikan, mantan staf khusus presiden di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu menjadi salah satu calon tersangka.
Â
Terancam 20 Tahun Penjara
Kendati mengaku siap menghadapi masalah ini, namun Denny yang pernah menjadi guru besar hukum tata negara UGM itu merasa telah dikriminalisasi. Hal ini diungkapkan pengacaranya.
"Kalau kami menilai kriminalisasi dan ada rekayasa di mana kasus (yang menjerat Denny) adalah sebuah proses inovasi (Kementerian) tapi dibawa ke ranah pidana. Katanya tidak sesuai dengan Kemenkeu. Belum ada sikronisasi program elektronik. Hal ini belum berjalan karena belum adanya terkoneksi saja," jelas Heru.Â
Pria kelahiran Kotabaru, Kalimantan Selatan, 11 Desember 1972 itu dikenakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 dan Pasal 23 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 199 jo pasal 421 KUHP Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, maupun setiap orang yang penyalahgunaan kewenangan diancam hukuman penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Terkait statusnya sebagai tersangka, Denny diwajibkan menemui Komisaris Besar (Kombes) Pol Djoko Poerwanto yang menjabat sebagai Kasubdit II di Bareskrim Polri, Jumat besok.
"Pak Denny malam ini terima surat panggilan sebagai tersangka untuk diperiksa hari Jumat. Tapi kami belum tahu. Kita baru terima surat jadi mau konsultasikan dengan pengacara dulu," ujar pengacara Denny yang lain, Defrizal.
Untuk mengahadapi kasus ini, Denny mengungkapkan akan didampingi puluhan pengacara. "Biasa standar koordinasi. Kemarin sekitar 40-an. Ada dari kuasa hukum Pak Bibit LBH, ada teman teman hukum UGM. Yang penting juga ada dari PKBH UGM," ucap Denny.
Menanggapi kasus Denny, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Aboe Bakar Alhabsy berharap Polri bertindak profesional. Ia juga mengimbau Denny menghormati proses hukum yang menjeratnya.
"Semua pihak harus menghormati proses hukum yang ada. Dari sisi kepolisian haruslah bertindak secara profesional," kata Aboe Bakar saat dihubungi di Jakarta, Rabu 25 Maret 2015. Dia menambahkan, bila Denny merasa tak bersalah atas kasus yang menjeratnya, maka dia harus membuktikannya dalam proses pengadilan.
"Tentunya hal itu hanya dapat dilakukan melalui pengadilan. Oleh karenanya, proses peradilan yang fair dengan memberlakukan orang secara equality before the law akan menjadi tolok ukur," ujar dia.
Selain itu, tambah Aboe Bakar, baik Denny dan Kepolisian sama-sama dituntut profesional dalam mengusut kasus tersebut. Pada akhirnya, yang bersalah akan dihukum dan sebaliknya yang tidak bersalah harus dibebaskan dari segala tuduhan. "Oleh karenanya, mari diikuti saja proses hukum yang sedang berjalan," tandas Aboe Bakar Alhabsyi. (Sun/Riz)