3 Perbedaan Penobatan Sultan HB IX dengan Putri Mahkota Yogya

GKR Pembayun tidak diberikan keris karena 5 hari sebelumnya keris itu sudah "disempurnakan" melalui Sabda Raja I.

oleh Yanuar H diperbarui 07 Mei 2015, 10:56 WIB
Diterbitkan 07 Mei 2015, 10:56 WIB
Gunungan Grebeg Syawal Ludes Diserbu Warga
Sejumlah abdi dalem membawa gunungan Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta di halaman Masjid Gede Kauman, (29/7/2014). (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Liputan6.com, Yogyakarta - Sultan Hamengkubuwono X telah mengubah gelar putri sulungnya dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi GKR Mangkubumi pada Selasa 5 Mei 2015.

Perubahan gelar yang tercatat dalam Sabda Raja kedua ini menandai putri sulung Sultan telah menjadi putri mahkota, yang berarti calon penerus tahta Keraton Yogyakarta.    

Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Bayu Dardias mengungkapkan, saat mengeluarkan Sabda Raja, Sultan HB X mengatakan "menyempurnakan" Keris Kiai Ageng Kopek dan Keris Kiai Joko Piturun.

Menurut Bayu, pernyataan itu sebagai simbol politis dalam menurunkan tahta keraton kepada penerusnya, yaitu GKR Mangkubumi.

"Sultan selanjutnya (yakni GKR Mangkubumi) tidak perlu lagi menggunakan keris. Sultan mengatakan 'nyempurnakke', itu berarti leluhurnya HB I-IX memegang keris-keris yang belum sempurna," ujar Bayu dalam keterangan tertulis di Yogyakarta, Kamis (7/5/2015).

Bayu yang merupakan kandidat doktor di Australian National University dengan disertasi tentang bangsawan-bangsawan di Indonesia, juga menyebut beberapa perbedaan penobatan penerus tahta antara GBPH Dorojatun atau Sultan HB IX tahun 1939 dan GKR Pembayun pada 2015.

Tanpa Keris Kiai Joko Piturun

Perbedaan pertama, kata Bayu, penobatan GBPH Dorojatun menjadi putra mahkota ditandai dengan penyerahan keris pusaka Kiai Kandjeng Joko Piturun di sebuah hotel di Yogyakarta, beberapa hari sebelum HB VIII meninggal dunia pada usia 59 tahun.

Bahkan Dorojatun diminta kembali dari Hindia Belanda sebelum menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Universitas Leiden jurusan Indologi atau administrasi tanah jajahan Hindia Belanda.

Dorojatun bukan putra tertua, tapi sebagian besar putra-putra Sultan HB VIII hadir saat penyerahan keris Joko Piturun, termasuk Hangabehi, putra sulung Sultan HB VIII dan semuanya langsung menyatakan kesetiaannya pada Dorojatun.

"GKR Pembayun tidak diberikan keris karena 5 hari sebelumnya keris itu sudah "disempurnakan" melalui Sabda Raja I," ujar Bayu.

Perbedaan kedua, yakni penobatan GBPH Dorojatun dihadiri sebagian besar putra-putra Sultan HB VIII, yang juga "berhak" atas tahta. Sementara saat penobatan GKR Pembayun, adik-adik Sultan yang bergelar pangeran absen dan bahkan menolak keras penobatan itu.

"Perbedaan ketiga adalah penobatan putra mahkota GBPH Dorojatun tidak sempat dirayakan saat itu. Sedangkan GKR Pembayun sengaja disembunyikan karena perayaan secara politik tidak memungkinkan," jelas Bayu.

Untuk pemberian gelar putri mahkota kepada GKR Pembayun, Sultan HB X mengeluarkan Sabda Raja dua kali di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta, yakni pada Kamis 29 April 2015 dan Selasa 5 Mei 2015.

Dua acara Sabda Raja itu dilakukan secara tertutup dan hanya dihadiri kerabat keraton dan keluarga Pakualaman. Sedangkan adik-adik Sultan yang bergelar pangeran tidak terlihat dalam acara itu. (Sun/Sss)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya