Liputan6.com, Semarang - Sejak kecil, Darwati, gadis berhidung mancung warga desa Gunungan RT 2 RW 1 Kecamatan Todanan Kabupaten Blora, ingin menjadi sarjana. Keinginannya itu didasari karena masih sangat sedikit warga kampungnya yang bergelar sarjana.
Selepas SMP Darwati melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 5 Todanan Blora. Memilih SMA bukan tanpa pertimbangan, karena saat itu bila ia masuk SMK ia disodori informasi bahwa SMK adalah jenjang pendidikan menengah untuk langsung bekerja.
Lulus SMA, Darwati sempat bingung karena orangtuanya yang miskin tak sanggup membeayai kuliah. Ia pun merantau ke Jakarta untuk bekerja. Peradaban ibukota yang jauh dari kebiasaannya sebagai masyarakat rural, membuatnya tak betah.
"Di Jakarta cuma satu minggu karena enggak betah, akhirnya balik lagi," kata gadis yang lahir pada 20 Februari 1992 ini.
Keinginan mengubah kesejahteraan hidupnya tak menyurutkan upayanya saat di kampung. Darwati kemudian bekerja dengan seorang penjual es campur. Siang hari ia harus melayani para pembeli. Apalagi di daerah Blora tergolong berhawa panas, sehingga kulit wajahnya menjadi hitam.
Lagi-lagi jiwa petualangannya untuk mengubah kesejahteraan menjadi pemicu. Darwati tak betah menjadi karyawan penjual es campur.
"Kerja jual es campur itu 3 minggu belum digaji karena pemiliknya ingin aku tetap kerja di sana. Orangnya baik," kata Darwati saat mengobrol dengan Liputan6.com, Senin (25/5/2015).
Mulai Kuliah
Lepas dari jualan es campur, Darwati mencoba bekerja dengan menjadi pembantu rumah tangga (PRT) dan pembantu dokter di rumah Drg. Lely Atasti Bachrudin. Darwati ingat betul ia mulai menjadi PRT sejak 16 Agustus 2010. Saat itu Darwati masih belum terbayang akan menjejakkan kaki di universitas hingga suatu saat majikannya mendengar Darwati bergumam ingin berkuliah.
"Saya nggremeng (bergumam) ingin kuliah, ternyata didengar. Beberapa hari setelah itu majikan pulang dari praktik bilang kalau bapak saya baru saja menemui dan bilang saya ingin kuliah, saya diperbolehkan menyambi kuliah. Belakangan saya tahu, ini upaya beliau memotivasi saya karena ternyata bapak saya tak pernah menemui majikan saya, apalagi ngobrol kalau saya ingin kuliah," kata Darwati.
Darwati mulai mencari informasi perguruan tinggi dan jurusan yang akan diambil hingga akhirnya ia memilih Untag di Semarang. Ia juga menyisihkan sebagian gajinya yang saat itu Rp 350 per bulan.
"Masalahanya masih di dana. Kadang saya pinjam teman, saya juga menyisihkan gaji, kadang dikasih uang saku sama bapak (majikan). Pokoknya prinsip saya kalau utang harus bayar," kata Darwati.
Tidak hanya dana, untuk berangkat kuliah ia harus menempuh jarak lebih dari 50 km. Terkadang ia menumpang temannya yang berasal dari Grobogan, namun ia lebih sering naik bus.
"Kadang saya diminta menemani anaknya bapak yang ada rumah di Semarang, jadi menginap di sini. Berangkat ke Semarang pas ada jadwal saja," kata Darwati.
>>Diejek>>
Diejek
Diejek
Ujian belum selesai. Meski sudah mulai kuliah dan semangatnya tinggi, ternyata ia masih juga menerima ejekan karena bekerja sebagai PRT. Namun, Darwati terus mengejar mimpinya menjadi sarjana.
"Ya kalau mengejek ada, tapi anggap angin lalu saja. Saya kalau belajar pas longgar saja. Jika sedang belajar tiba-tiba dipanggil buat bantu-bantu ya kerjakan, kalau tidak ada kerjaan baru buka laptop, belajar," kata Darwati.
Kini Darwati sudah membanggakan kedua orangtuanya dengan lulus dan termasuk mahasiswa bernilai terbaik di kampusnya. Ayah Darwati, Sumijan tidak menyangka putri keduanya bisa meraih gelar sarjana.
"Tidak menyangka, saya kan hanya petani," kata Sumijan.
Cum Laude
Sukses Darwati tak hanya karena sukses menjadi sarjana. Namun ia juga lulus dengan predikat cum laude.
Slamet Riyono selaku dosen pembimbing skripsi Darwati mengapresiasi usaha mahasiswinya itu. Ia kagum karena Darwati termasuk mahasiswi yang rajin karena rela menempuh jarak yang jauh hanya untuk belajar mata kuliah yang tidak dimengertinya.
"Dia itu benar-benar mau belajar, mana yang tidak bisa diakui, dia kemudian cari dari teman-temannya atau tanya saya. Skripsinya lancar, dia patuh," kata Slamet.
Mahasiswi jurusan Administrasi Niaga Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang itu lulus dengan IPK 3,68. Prestasi yang luar biasa bagi pasangan suami istri Sumijan dan Jasmi yang bekerja sebagai petani di desanya.
Apakah setelah lulus persoalan perbaikan kesejahteraan yang dialami Darwati sudah selesai? Jauh sekali dari harapan itu. Darwati masih harus terus meruwat dirinya agar cita-citanya bisa tercapai. (Mut)
Advertisement