Pro-Kontra Ide KPK Bisa Menerbitkan SP3

Namun, sejumlah anggota setuju UU KPK perlu direvisi untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 17 Jun 2015, 20:04 WIB
Diterbitkan 17 Jun 2015, 20:04 WIB
Logo KPK
KPK

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi diusulkan dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Hal tersebut dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Namun tak semua pihak setuju.

"Saya kira kalau KPK diberi kewenangan menerbitkan SP3, lalu apa bedanya KPK dengan lembaga penegak hukum lain?" kata anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, saat dihubungi, Rabu (17/6/2015).

Komentar Arsul tersebut menanggapi pernyataan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki yang mengusulkan agar KPK bisa mengeluarkan SP3. Aturan itu bisa dimasukkan dalam revisi UU KPK di DPR.

Bila KPK menginginkan adanya SP3, lanjut dia, kewenangan dan anggarannya juga harus disamakan dengan Kepolisian atau Kejaksaan. Sebab, KPK sudah tidak ada bedanya dengan Polri dan Kejaksaan.

Menurut dia, problem KPK saat ini bukan mengenai perlu atau tidak SP3. Tapi, KPK perlu bekerja dengan cermat sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka. Terlebih, saat ini, tersangka bisa mempraperadilankan penetapan status oleh KPK.

"Problemnya adalah KPK dituntut untuk bekerja lebih cermat, menerapkan due process of law yang benar tidak hanya dari sisi kepentingan negara atau publik saja tetapi juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan HAM dari orang-orang yang jadi tersangka dan yang diimplikasikan dalam suatu kasus dugaan korupsi," papar Arsul.

Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengatakan belum dapat memastikan revisi UU KPK mengatur KPK dapat keluarkan SP3. Namun, UU KPK perlu direvisi untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

"Dalam posisi itu tentu kita lihat awalnya UU KPK tidak bisa mengeluarkan SP3. Yang terjadi ternyata ada inisiasi praperadilan yang dulu tidak ada orang berpikir ke praperadilan dan ternyata bisa. Di sinilah perlu adanya kekinian yang disesuaikan dengan UU KPK ini," kata Taufik Kurniawan.

Dulu, alasan dibentuknya KPK sebagai lembaga ad hoc oleh DPR karena melihat situasi pemberantasan korupsi yang mendesak. Tugas KPK disokong oleh Kejagung dan Polri yang dapat mengeluarkan SP3.

Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, menilai kewenangan untuk mengeluarkan SP3 memang harus dimiliki KPK. "Terbukti kan, kalau yang ditetapkan KPK harus benar semua? Kan tidak. Sekarang ada praperadilan, ini juga koreksi sudah tiga kali kalah dalam praperadilan," kata Fadli Zon.

Politisi Partai Gerindra juga menyoroti wacana penyidik KPK dari Polri. Dia mengatakan tidak bisa KPK mengangkat penyidik independen karena tidak ada dalam UU KPK. "Penyidik itu ya dari kepolisian dan kejaksaan sesuai UU. Jadi tak bisa seperti apa itu penyidik independen, tidak ada aturannya," ucap Fadli Zon.

Sebelumnya, Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengatakan UU KPK harus diubah. Terutama, kata dia, mengenai kewenangan KPK untuk menerbitkan SP3.

"(Salah satunya) Memberi izin penghentian penyidikan kepada KPK," ujar Ruki dalam pesan singkatnya.


Setelah RKUHP

Arsul Sani juga mengusulkan agar revisi UU KPK masuk dalam Program Legislasi 2015-2019. Artinya, revisi UUKPK telah menjadi persetujuan DPR.

"Jadi, secara hukum dan politik itu bisa diterima. Namun, PPP berpendapat pelaksanaan amandemen UU KPK seyogyanya setelah pembahasan revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Piandana (RKUHAP), paling tidak secara bersamaan," kata Arsul.

Menurut dia, pembahasan RKUHAP sebagai lex generalis harus dibahas terlebih dahulu. "Kemudian, RUU KPK sebagai lex spesialis dibahas belakangan atau bersamaan," ungkap Arsul.

Mengenai adanya perubahan dalam wewenang KPK dalam hal penyadapan dan penuntutan, lanjutnya, hal tersebut harus dilihat terlebih dahulu melalui draf revisi UU KPK yang diajukan oleh Pemerintah. "Saya tidak ingin buru-buru menilai akan terjadi pelemahan KPK melalui revisi ini," tandas Arsul. (Bob/Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya