Dana Aspirasi Disebut Potensial Bertentangan dengan Undang-undang

Usaha untuk memasukkan UP2DP ke APBN 2016 secara tergesa-gesa dinilai berdampak buruk pada implementasinya

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 21 Jun 2015, 08:04 WIB
Diterbitkan 21 Jun 2015, 08:04 WIB
Gedung DPR
Gedung DPR di Senayan, Jakarta.

Liputan6.com, Jakarta - Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau biasa disebut dana aspirasi dinilai berpotensi menabrak undang-undang.

Menurut anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Nasdem, Johnny G Plate, UP2DP ini rencananya dimasukkan melalui program transfer daerah Dana Alokasi Khusus (DAK). Sehingga berpotensi menabrak UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

‎"Nah ini sudah pasti berpotensi menabrak UU 23/2014, bahwa dana bantuan itu menjadi kewenangan pemerintah daerah. Jadi tidak bisa dana (aspirasi) itu dipaksakan dibahas di pemerintah pusat saja,"‎ kata Johnny dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu 20 Juni 2015.

Selain UU No. 23 Tahun 2014, lanjut Johnny, usulan dana aspirasi ‎juga berpotensi menabrak UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Tata Kelola Keuangan Negara.

‎Karena itu, pihaknya mengusulkan agar DPR segera menghentikan proses UP2DP ini. Dirinya juga tidak melihat bahwa dana aspirasi ini akan memberi banyak manfaat dari sisi keadilan dan pemerataan jika masih terus dilanjutkan.

"Karenanya, lebih baik program ini kita salurkan sebagaimana amanat Undang-undang kita, yakni disalurkan melalui Pemda di dalam Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) 2016, mulai dari Musrenbang Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, dan Nasional untuk persiapan APBN 2017," ucap dia.

Politisi Partai Nasdem ini menilai, usaha untuk memasukkan UP2DP ke dalam APBN 2016 secara tergesa-gesa akan berdampak buruk pada implementasinya.

"Apabila perencanaan sudah tergesa-gesa, kita khawatir implementasinya tidak bisa dikelola dengaan baik yang berujung pada penyimpangan keuangan negara. Kita harus memastikan menggunakan uang kita secara efisien," papar Johnny.

Lebih jauh, pria kelahiran Ruteng, NTT, ini ‎meminta agar persoalan anggaran dan tata kelola keuangan negara menjadi hak pemerintah. "Apabila DPR menginginkan untuk punya hak anggaran, maka ubah dulu undang-undang terkait. Karena ‎UU saat ini, anggaran dan tata kelola keuangan negara menjadi sepenuhnya domain eksekutif," beber Johnny.

"Jangan diambil alih tugas itu oleh legislatif. Lebih baik DPR fokus dan menyelesaikan fungsi-fungsinya, seperti fungsi legislasi, budgeting, pengawasan, dan masih banyak fungsi lain," sambung dia.

‎Pemerintah Mesti Berhati-hati

‎Jika UP2DP ini nantinya menjadi undang-undang, kata Johnny, maka hal itu akan berlaku bagi seluruh masyarakat, termasuk semua anggota DPR. Dan itu harus ditaati. Namun demikian, dia tidak yakin UP2DP mendapat persetujuan dari pemerintah.

"Pemerintah pasti mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Tidak mungkin pemerintah menyetujui anggaran kalau itu menabrak undang-undang," ungkap Johnny.

Pihaknya juga menyarankan kepada pemerintah agar lebih teliti dan berhati-hati dalam menentukan kebijakan terkait dana aspirasi. Karena dikhawatirkan dana aspirasi ini berpotensi untuk diselewengkan.

"‎Bila ini (UP2DP) diproses dan terus ditindaklanjuti di DPR, maka kami ingin ingatkan kepada pemerintah untuk hati-hati. Kami juga akan sarankan presiden untuk tidak perlu mengakomodasi ini ke dalam APBN 2016," tutup dia. (Yus/Ans)

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya