Adopsi Angeline yang Berujung Petaka

"Siapa yang bunuh kamu, Nak? Kenapa kamu dibunuh? Ibu tidak terima kamu diperlakukan seperti ini."

oleh RinaldoFX. Richo Pramono diperbarui 22 Jun 2015, 20:19 WIB
Diterbitkan 22 Jun 2015, 20:19 WIB
Angeline (Liputan6.com)
Angeline (Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Hari itu, Rabu 10 Juni 2015, adalah kali kedua Hamidah bertemu dengan putrinya, Angeline. Ia hanya sempat mendekap anak itu selama 3 hari, 8 tahun lalu, sebelum menyerahkannya pada orang lain. Alasannya, tak mampu membayar biaya persalinan Rp 800 ribu.

Namun, bukan gadis cilik berparas cantik yang ia temui. Melainkan tubuh kaku Angeline dengan kondisi mengenaskan.  "Siapa yang bunuh kamu, Nak? Kenapa kamu dibunuh? Ibu tidak terima kamu diperlakukan seperti ini," teriak Hamidah di Instalasi Kamar Jenazah RSUP Sanglah, Denpasar.

Hamidah tak menyangka, adopsi Angeline diduga menjadi pintu masuk tindak kekerasan. Bahkan tragedi yang merenggut nyawa darah dagingnya sendiri.

Ibu kandung Angeline histeris dan bahkan sempat pingsan saat mendatangi rumah sakit Sanglah untuk menemui jenazah anak kandungnya.

Untuk mencegah hal itu terulang, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto mengatakan, perlu adanya pengetatan dan pentaatan seseorang memenuhi mekanisme atau prosedur cara adopsi anak yang benar dan sah.

"Yang sah hanya melalui putusan pengadilan. Tidak dapat diwakilkan dengan surat-surat lain. Prosesnya pun panjang bisa mencapai 2 tahun. Undang-undang sudah mengatur itu di Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan diperkuat Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 dan diperinci dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 110 tahun 2009 tentang Syarat Pengangkatan Anak," jelasnya.

Dalam peraturan yang telah diatur di atas, tidak diperbolehkan memutus hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orangtua kandungnya. Sehat jasmani dan rohani juga menjadi hal penting yang harus dipenuhi oleh calon orangtua asuh ketika akan mengadopsi anak.

"Umur minimal 30 tahun dan maksimal 55 tahun. Memiliki agama yang sama dengan calon anak angkat. Memiliki catatan kelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan. Usia pernikahannya pun minimal paling singkat itu harus sudah 5 tahun," terang Susanto.

Bukan hanya matang dalam segi jasmani dan rohani. Calon orangtua asuh pun harus sudah mapan dalam segi ekonomi. Hal itu akan berpengaruh dengan hak yang didapat si anak ketika ia tumbuh dewasa.

Rumah ibu angkat bocah Angeline. (Liputan6.com/Dewi Divianta)


"Jelas anak butuh sekolah dan butuh lain-lainnya juga. Mampu secara ekonomi dan sosial juga penting. Karena jangan sampai anak asuhnya tidak dapat mengenyam pendidikan karena keterbatasan biaya," tambah Susanto.

Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, verifikasi juga harus dilalui oleh calon orangtua asuh sebelum mengadopsi anak. Dinas Sosial atau Kementerian Sosial yang akan memberi rekomendasi apakah calon orangtua asuh dinyatakan cakap secara hukum atau tidak. Bahkan hal yang menyangkut psikologis pun menjadi suatu pertimbangan penting yang harus dilihat pada calon orangtua asuh.

"Seperti pernah terlibat atau tidaknya orangtua dengan tindak pidana kriminal seperti penggunaan narkoba dan perilaku buruk lainnya. Kebiasaan dalam keseharian pun perlu dilihat apakah ada kebiasaan konsumsi minuman keras, apa ada kebiasaan melakukan seks menyimpang, harus dilihat secara menyeluruh. Ini akan berkaitan dengan tumbuh kembang anak," pungkas Arist.

‘Anakmu Bukan Milikmu’

‘Anakmu Bukan Milikmu’

Masih soal Angeline, Arist Merdeka Sirait berpendapat bahwa telah terjadi keruntuhan ketahanan keluarga dalam masyarakat.

"Itu yang pertama, terjadi keruntuhan ketahanan keluarga. Salah satunya adalah nilai spiritual dan pemahaman agama. Perlu ada sudut pandang yang baik untuk menyikapi itu agar tidak salah kaprah," ujar Arist Merdeka Sirait kepada Liputan6.com.

"Anak adalah sebuah anugerah yang Tuhan titipkan kepada orangtua dan bangsa. Sehingga kerap kali keluarga melihat anak adalah sebagai milik, dikuasai. Apapun yang ada dalam obsesi orangtua berusaha dipaksakan. Dan itu memicu adanya tindak kekerasan dan kejahatan lainnya," tambahnya.

"Bisa karena salah menyikapi budaya dan agama kita yang menempatkan anak itu dikuasai. Kalau memang amanah yang diberikan pada kita, ya berilah anak itu tempat yang maksimal. Karena dalam nilai sosial, anak punya hak untuk dilindungi. Lama kelamaan ini menjadi sebuah degradasi dalam ketahanan keluarga," jelasnya.

Jika Arist Merdeka Sirait telah memaparkan bagaimana peran keluarga menjadi tonggak, Susanto selaku Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menambahkan bahwa peran aktif masyarakat juga perlu ditingkatkan. Hal ini menurutnya dapat meredam angka kekerasan pada anak yang tiap tahun makin meningkat.

"Perlindungan anak juga menjadi kewenangan wajib daerah, gubernur, walikota atau bupati. Manfaatkanlah kelembagaan RT dan RW sebagai pioner promosi perlindungan anak, termasuk bagaimana membangun mekanisme pencegahan, penanganan, dan pelaporan dugaan kekerasan terhadap anak agar ada promosi intensif terkait perlindungan anak," kata Susanto kepada Liputan6.com

Bukan hanya itu yang menjadi rekomendasi KPAI dalam menekan angka kekerasan pada anak. Keterlibatan para pemuka agama pun berbanding lurus dengan pemahaman orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Untuk itu Susanto mengatakan perlu adanya integrasi muatan perlindungan anak dalam kegiatan ibadah.

"Itu juga penting, bagaimana tokoh agama, adat, dan budaya mengambil peran aktif dalam penyadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan anak. Perlu juga mengintegrasikan muatan perlindungan anak dalam khotbah Jumat, atau khotbah di gereja, atau ceramah keagamaan lain," tuturnya.

Secara kasat mata perubahan perilaku dan kebiasaan anak dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dirasa perlu adanya peningkatan kepekaan dalam memperhatikan anak di sekitar kita. Baik di lingkungan rumah, maupun dalam masyarakat.

Arist Merdeka Sirait memberi sebuah gambaran bagaimana ciri seorang anak mengalami kekerasan khususnya kekerasan seksual dalam rumah tangga. Sang ibu dapat dengan mudah mendeteksi kebiasaan yang tidak lazim timbul pada anak tersebut ketika telah mengalami kekerasan seksual dalam rumah tangga.

"Jelas itu dapat terlihat. Misalnya jika anak itu mengalami kekerasan seksual oleh ayahnya, mungkin anak itu yang biasa tidur sendiri lalu minta ditemani ibunya saat tidur. Itu langkah penyelamatan diri sang anak yang secara tidak langsung dia lakukan untuk terhindar dari ayahnya yang sering menghampiri. Itu tanda-tanda yang perlu diperhatikan untuk mendapat penanganan parenting yang tepat," papar Arist.

"Lantas jika anak itu di sekolah, guru dan teman-temannya sekalipun dapat melihat kebiasaan yang berubah dari si anak. Semisal anak itu jadi sering telat ke sekolah, sering ngantuk, dan pusing. Dan jika diamati untuk bicara pun terbata-bata sekalipun dalam keseharian si anak dapat bicara secara lancar," lanjut Arist.

Arist Merdeka Sirait juga mengamini bahwa jumlah kekerasan pada anak di Indonesia kian tahun kian meningkat angkanya. Namun tidak dapat dipungkiri, hanya beberapa kasus kekerasan saja yang dapat terkuak. Untuk itu Arist meminta bantuan masyarakat dan media untuk terus menjadikan kekerasan anak sebagai fokus utama.

"Dari situ akan muncul sebuah pemantauan yang intensif pada kasus-kasus lain. Media bukan untuk mengungkap, tapi berita harus tetap muncul. Karena media punya peran cukup signifikan. Masyarakat akan terus waspada dan sadar akan potensi kekerasan anak di sekitarnya," jelas Arist.

Dia menekankan untuk media terus memberitakan kasus kekerasan anak tanpa melihat skala besar kecilnya kasus itu. Ia memberi contoh kejadian di Banjarmasin salah satu kasus mencengangkan yang luput dari perhatian publik.

"Seperti itu contohnya, banyak yang lebih parah dari itu dan luput dari pemberitaan. Di sana ada anak 17 tahun memperkosa anak 12 tahun dan setelah itu dibunuh dengan cara digorok," imbuhnya. (Ein)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya