KSAL: Jangan Sampai Alutsista Membunuh Prajurit

Terkait peremajaan kapal perang, menurut Ade, pihaknya telah memasukkan ke dalam program Minimum Essential Force (MEF).

oleh Fahrizal Lubis diperbarui 07 Jul 2015, 18:24 WIB
Diterbitkan 07 Jul 2015, 18:24 WIB
KSAL: Jangan Sampai Alutsista Membunuh Prajurit
(Foto:Andrian Martinus)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Laksamana TNI Ade Supandi mengatakan, pada dasarnya alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI AL hingga kini masih banyak menggunakan produk lama. Oleh karena itu, sudah selayaknya TNI AL meremajakan alutsistanya.

Ade mengatakan, pihaknya memilki kebijakan kewajiban meremajakan alutsista yang sudah menurun kemampuan tempurnya. Tujuannya, untuk melindungi dan meminimalisir anggotanya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Namun, semua dikembalikan kepada pemerintah.

"Seperti Kapal Van Speijk, Ahmad Yani, kelas itu 67 - 70-an, ini kapal sudah 45 tahun dan kita sudah terlalu canggih memeliharanya. Ada kapal 80-an, kalau injak di geladak banyak yang keropos. Jangan sampai alutsista ini membunuh prajurit," ujar Ade saat berkunjung ke Kantor Redaksi Liputan6.com, di SCTV Tower, Senayan, Jakarta Pusat, (7/7/2015).

Terkait peremajaan kapal perang, menurut Ade, pihaknya telah memasukan ke dalam program Minimum Essential Force (MEF). Karena kapal-kapal ini tidak bisa dilakukan lagi perpanjangan usia pakai.

"Sebenarnya sudah sebagian masuk dalam program MEF. Tetapi juga ada beberapa, karena dulu pertimbangan kita adalah pembiayaannya jangan sampai terlalu besar. Karena ada juga rasio dengan kebutuhan angkatan lain, sehingga kita pada prioritas dulu," ujar Ade.

Dia berharap, dengan adanya Poros Maritim Dunia, TNI AL dapat mengembalikan kejayaan seperti yang terjadi pada era 60-an. Dalam MEF, TNI AL menghitung angka kebutuhan kapal, idealnya dibutuhkan 474 kapal perang, kapal yang dimiliki standarnya 274, dan pada tahap minimum 151 kapal perang yang dimiliki.  

"Pertimbangan kita adalah bahwa kapal itu tetap menampilkan sesuai fungsi asasinya. Kalau kapal kombatan itu ada kemampuan antiudara, kemampuan perang kapal permukaan, kemampuan antikapal selam, ini harus dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi hanya bisa berlayar ini sangat tidak kita harapkan, karena nantinya kan jadi kapal dagang," ungkap Agus.

Agus menegaskan, jika sesuai visi maritim Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), minimal alutsista harus dinaikkan ke standar. Karena kebutuhan itu tidak hanya berdasar kepada peperangan saja, tetapi juga untuk Operasi Militer Selain Perang.

"Seperti pencegahan, penyelundupan, penanggulangan illegal logging, transmigran, dan lain-lain," pungkas Ade.

Kekuatan Laut Terbesar di Asia

Awal pembentukan TNI Angkatan Laut dimulai dari Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 22 Agustus 1945. Kemudian pada 10 September 1945, BKR dikembangkan menjadi beberapa divisi, salah satunya BKR Laut.

Dikutip dari laman www.tnial.mil.id, BKR Laut dipelopori pelaut-pelaut Indonesia yang pernah bertugas di Koninklijke Marine atau Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Setelah BKR, berganti menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang kemudian dikenal dengan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).

Pada 1959, ALRI mencanangkan program yang dikenal "Menuju Angkatan Laut yang Jaya", yang akhirnya mengalami kemajuan signifikan hingga 1965. Pada saat itu, Presiden Pertama RI, Sukarno, mendatangkan berbagai alat utama sistem persenjataan (alutsista) canggih untuk menjawab konfrontasi perebutan Irian Barat.

Pada era 1960-an, kekuatan ALRI disebut-sebut sebagai kekuatan Angkatan Laut terbesar di Asia. Senjata-senjata ini didatangkan langsung dari Eropa Timur, karena perebutan Irian Barat dirasa tidak dapat diselesaikan secara diplomatis.

Beberapa mesin perang yang terkenal di jajaran ALRI antara lain kapal penjelajah (cruiser) RI Irian, kapal perusak (destroyer) kelas Skory, Fregat kelas Riga, Kapal selam kelas Whisky, kapal tempur cepat berpeluru kendali kelas Komas, pesawat pengebom jarak jauh Ilyushin IL-28 dan Tank Amfibi PT-7. 

Namun, modernisasi alutsista era 60-an ini berbeda dengan sekarang. Seperti yang disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR, Tantowi Yahya, baru-baru ini, yang menyayangkan alutsista era 60-an masih digunakan hingga kini. Dari total anggaran yang dikeluarkan, hanya 40% yang digunakan untuk alutsista.

"Permasalahan yang ada, dari 40 tahun tidak full utuh pembelian alutsista, karena ada pemeliharaan. Inilah potret suram alutsista kita," ujar Tantowi. (Rmn/Mvi)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya