Jimly Asshiddiqie: Pasal Penghinaan Presiden Terlalu Feodal

Penghinaan itu tidak boleh kepada siapa saja, apalagi seorang presiden.

oleh Luqman Rimadi diperbarui 04 Agu 2015, 22:07 WIB
Diterbitkan 04 Agu 2015, 22:07 WIB
Tim 9 Datangi KPK Bahas Kisruh Dengan Polri
Wakil Ketua Tim 9, Jimly Asshiddiqie menjawab pertanyaan wartawan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (3/2/2015). Jimly mengaku diundang rapat untuk membahas permasalahan antara KPK dan Polri. (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengajukan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu pasal yang direvisi yaitu mengenai pasal penghinaan terhadap Presiden yang tertuang dalam dalam Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

Terkait hal ini, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie justru menilai keberadaan pasal tersebut tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut Indonesia.  ‎ Pasal tersebut menyebut kalau presiden merupakan simbol negara yang tidak boleh dihina. Pemaknaan presiden sebagai simbol negara dinilai kurang tepat untuk konteks alam demokrasi saat ini. 

"‎Kita hapus sebagai pasal yang inkonstitusional. Kepala negara sebagai simbol. Simbol itu artinya lambang negara, lambang itu sudah diatur sendiri pada Pasal 36. Lambang negara itu Garuda Pancasila. Jadi, itu teori feodal yang anggap Presiden itu lambang negara," ujar Jimly di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/8/2015).‎

Jimly menilai, diajukannya kembali pasal tersebut tidak bisa menyalahkan pemerintah saat ini. Sebab, pengajuan draft pasal tersebut telah ada sejak pemerintah sebelumnya. Saat itu, Mahkamah Konstitusi bahkan telah menguji pasal tersebut dan akhirnya dibatalkan. 

"Itu kan sudah dibahas tim hukumnya, banyak ahli pidana ingin mengembalikan itu (pasal penghinaan). Padahal itu pasal yang kita batalkan yang salah satu pengalaman yang jarang terjadi di mana Dewan HAM PBB memuji-muji Indonesia," kata dia. 

Saat itu, kata Jimly keputusan MK mendapat respons yang cukup baik dari dunia internasional. Terlebih negara-negara dengan tingkat demokrasi yang lebih maju masih memberlakukan pasal tersebut di negaranya.

"‎Dalam special report Dewan HAM PBB, puji-puji putusan MK yang membatalkan pasal penghinaan Presiden sebagai suatu kemajuan yang 2 langkah lebih maju dari banyak negara lain, termasuk beberapa negara Eropa seperti Swedia, Belgia, Belanda, di mana pasal itu masih ada," kata dia. 

Namun demikian, mantan Ketua MK ini menegaskan, sebagai Kepala negara, tidak boleh ada warga yang menghina presiden. Bila presiden merasa dirinya dihina, maka  sebagai warga negara, Presiden dapat  melaporkannya kepada pihak kepolisian. 

"Penghinaan itu tidak boleh kepada siapa saja, apalagi seorang Presiden. Tapi seandainya seorang Presiden merasa dihina, maka yang terasa dihina itu adalah individu pribadi, bukan institusi Presiden. Jadi kalau yang namanya institusi Presiden tidak punya perasaan, maka lembaga Presiden itu tidak bisa merasa dihina. Kalau Presiden merasa dihina ya dia mengadu ke polisi," ucap dia. (Ron/Ado)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya