Liputan6.com, Denpasar - ‎Pasal penghinaan presiden kembali diusulkan masuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Usulan itu sudah masuk dalam Revisi KUHP. Padahal, pasal ini telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006.
I Wayan Suardana, aktivis 1998 yang pernah menjadi korban pasal tersebut, menolak revisi KUHP itu.
"Saya menolak diaktifkan lagi pasal itu (penghinaan presiden) agar demokrasi negara ini tidak mundur lagi dan konstitusi dapat tegas dalam seluruh aspek hukum di Indonesia," kata Suardana kepada Liputan6.com di Denpasar, Rabu (5/8/2015).
Menurut pria yang akrab disapa Gendo itu, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden secara hukum sudah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Hal tersebut sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Jika dipaksakan, kata dia, pasal tersebut sangat rentan disalahtafsirkan oleh presiden. Akibatnya, akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengancam demokrasi.
"Bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengancam demokrasi. Esensi hukum demikian secara tegas dinyatakan dalam putusan MK tahun 2006," jelas Gendo.
Terlebih, putusan MK sudah final dan mengikat. Oleh karena itu, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tidak bisa diaktifkan lagi. Jika dipaksakan, pasal penghinaan presiden cacat konstitusi.
"Apalagi secara historis pasal ini adalah pasal warisan kolonial yang digunakan untuk menindas rakyat yang kritis. Dan, sudah dengan nyata digunakan dan dipraktekkan sepanjang pasal ini diberlakukan baik saat masa Orde Lama, Orde Baru maupun di era Reformasi," pungkas Gendo.
Dia pernah mendekam di balik jeruji besi akibat dijerat dengan pasal penghinaan presiden. Kala itu, Gendo yang kini menjadi advokat, membakar poster Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam aksi protes menolak kenaikan harga BBM di Gedung DPRD Bali pada 30 Desember 2004 silam. Aksinya itu mengantarkan pria yang kini getol menolak reklamasi Teluk Benoa itu ke hotel prodeo Lapas Kelas IIA Kerobokan selama 6 bulan. (Bob/Mut)