Akibat Alih Fungsi Hutan, Harimau Sumatera di Jambi Sisa 50 Ekor

Musim kemarau juga dinilai menjadi salah satu pemicu harimau dan gajah masuk permukiman warga.

oleh Bangun Santoso diperbarui 07 Agu 2015, 06:50 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2015, 06:50 WIB
Harimau Sumatera Lahir Kembar 3 di Inggris
Ini adalah kali ketiga anak harimau Sumatera lahir di Kebun Binatang Chester, Inggris.

Liputan6.com, Jambi - Konflik antara manusia dengan satwa di Jambi diduga kerap terjadi. Satu penyebab utamanya adalah alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan. Bahkan, populasi satwa paling dilindungi yakni harimau Sumatera di Jambi diklaim hanya bersisa 50 ekor.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Musri Nauli mengatakan, dalam setahun ada 150 kali konflik antara manusia dengan satwa. Yang kerap terjadi di Jambi adalah antara manusia dengan harimau atau gajah.

"Lokasi konflik biasa terjadi di kawasan habitat satwa liar seperti kawasan Taman Nasional Berbak (TNB), kawasan PT LAJ, Taman Nasional Bukit 30 di Kabupaten Tebo, dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS)," ujar Musri di Jambi, Jumat (7/8/2015).

"Konflik itu antara manusia dengan gajah dan harimau. Setahun mencapai 150 kali, itu artinya rata-rata terjadi setiap 2 hari sekali," sambung Musri.

Musri menjelaskan, alih fungsi hutan menjadikan banyak lokasi jelajah harimau dan gajah Sumatera dibuat menjadi jalan-jalan umum. Akibatnya, sejumlah satwa masuk ke permukiman warga di sekitar kawasan hutan.

Tidak itu saja, kata Musri, musim kemarau yang terjadi saat ini menjadi salah satu pemicu harimau dan gajah masuk permukiman warga. Ini disebabkan ketersediaan air dan makanan semakin berkurang akibat pembukaan hutan.

Karena ruang terbatas, jelajah kurang menyebabkan sumber makanan satwa menyusut, imbasnya populasi satwa, khususnya harimau Sumatera pun berkurang.

"Harimau-harimau tidak bisa lagi bermain di hutan-hutan di luar wilayah jelajahnya, dan kemungkinan terjadi incest (perkawinan sedarah) yang menyebabkan populasi tidak bagus dan banyak menimbulkan penyakit," jelas Musri.

Untuk mengatasi kondisi itu, Musri menyatakan, perlu ada ketegasan pemerintah untuk tidak lagi memberikan izin kepada perusahaan yang ingin membuka lahan perkebunan baru. Selain itu, untuk hutan yang sudah rusak, sebaiknya dikelola dan direhabilitasi, dengan begitu, 10 tahun akan datang hutan yang rusak bisa dinikmati kembali.

"Jangan lagi ada pembukaan-pembukaan hutan, apalagi ingin membelah taman nasional sebagai jalur evakuasi. Itu hanya janji-janji pemilu saja," tandas Musri. (Mvi/Rmn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya